Nabila Nurul Hasanah
Hes 5C
(222111072)
Pada Artikel kali ini saya akan membahas sebuah buku karangan bapak Muhammad Julijanto dan rekan yang berjudul Ekonomi Syariah Dalam Dinamika Hukum Teori Dan Praktik. pada buku ini banyak sekali bab yang membahas tentang bagaimana ekonomi syariah berdinamika hukum teori dan praktik nya.
Dalam buku ini terdapat banyak sekali bab dan subbab. salah bab di buku ini membahas regulasi dalam ekonomi syariah. pada bab ini terdapat banyak sekali sub bab. efisiensi birokrasi penerbitan sertifikat halal di indonesia menurut Zaidah nur rosidah Pada dasarnya, kewajiban untuk produk pangan, obat-obatan, kosmetik, rekayasa genetika, dan rekayasa biologi yang bersertifikat halal di Indonesia dimaksudkan untuk memastikan bahwa semua pemeluk agama beribadah dan menerapkan ajaran agamanya. Negara bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan barang yang dikonsumsi dan digunakan oleh orang-orang. Tujuan dari jaminan penyelenggaraan produk halal adalah untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian tentang ketersediaan barang halal bagi orang-orang untuk mengonsumsi dan menggunakannya, serta untuk meningkatkan keuntungan bagi bisnis yang memproduksi dan menjual barang halal. Pada masa lalu kehalalan makanan dapat dengan mudah diketahui dengan melihat bahan baku yang digunakan. Akan tetapi, pada saat sekarang dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, penentuan halal tidaknya suatu produk pangan menjadi tidak sederhana lagi. Banyak produk olahan yang menggunakan teknologi, pengawetan, pengemasan, rekayasa genetika bahkan pemanfaatan zat kimia dalam produk pangannya. Untuk memberikan jaminan keamanan, kehalalan dan ketenteraman batin bagi konsumen khususnya muslim, pemerintah menunjuk lembaga yang berwenang untuk melakukan sertifikasi halal (Faidah, 2017). Selama ini, sertifikasi halal telah membantu konsumen. Namun, dengan keluarnya dan berlakunya UU Jaminan Produk Halal No. 33 tahun 2014, konsumen, terutama mereka yang beragama Muslim, akan dijamin bahwa makanan yang mereka konsumsi halal. Ini karena, menurut Pasal 4 UUJPH, sertifikat halal diperlukan untuk semua produk makanan, minuman, kosmetik, obat, dan lainnya yang dijual di masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan bahwa produk halal dijamin. Untuk melaksanakan tugas tersebut, didirikan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sebelum UU ini dibuat, prosedur penerbitan sertifikat halal tidak sama dengan prosedur yang diatur dalam UUJPH. Di Indonesia, pengiriman barang olahan harus dilakukan oleh perusahaan. Lembaga yang memiliki otoritas untuk memberikan sertifkat halal juga berbeda. Setelah terbitnya UUJPH, MUI melakukan penerbitan sertifikat halal yang sudah berjalan. Setelah terbitnya UUJPH, BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) bertanggung jawab untuk memberikan fatwa tentang kehalalan produk yang diajukan kepada MUI. Pada prinsipnya, perubahan mekanisme penerbitan ini terkait dengan substansi peraturan hukum yang muncul dari UUJPH itu sendiri. Untuk memenuhi kewajiban tersebut, negara harus menyelenggarakannya. Penerbitan sertifikat halal dilakukan oleh kementerian agama negara.
disini pula akan dijelaskan tentang Eksistensi Lembaga Fatwa dan Lembaga Keuangan Syariah. menurut umi rohmah Studi keuangan syariah di Indonesia dititikberatkan mengenai fungsinya sebagai media untuk mengatasi persoalan kemiskinan, produk, dan implementasinya di lembaga keuangan syariah, atau aturan dan kesesuaian antara praktik keuangan syariah dengan ketentuan syariah/ hukum Islamnya. Sakai (Sakai, 2008, 2010, 2014) dan Nazirwan (Nazirwan, 2015) membahas bagaimana keberhasilan lembaga keuangan mikro syariah atau dikenal dengan Baitul Mal wat Tamwil (BMT) dalam mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat. Hefner mengkaji eksistensi Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga fatwa mendorong islamisasi lembaga keuangan (Hefner, 2003), yang tampak dari jenis produk transaksinya. ia juga menjelaskan tentang Regulasi Fatwa DSN MUI Terkait Keuangan Syariah fatwa DSN MUI telah berperan sesuai dengan status dan fungsinya, yakni sebagai salah satu sumber hukum Islam dalam praktik keuangan syariah telah memberikan arahan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan praktisi. Meskipun fatwa tidak memiliki kekuatan hukum memaksa dan tidak bersifat memaksa untuk dilaksanakan, namun fatwa DSN MUI telah dijadikan sumber hukum formil di lembaga keuangan syariah, baik itu lembaga perbankan syariah maupun lembaga keuangan non perbankan syariah. Hal ini terjadi karena fatwa DSN telah diregulasi dalam bentuk undang-undang, peraturan Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia, Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan OJK, Surat Edaran OJK, dan yang lainnya. fatwa tersebut diatur sebagai berikut : Pertama, regulasi fatwa DSN MUI dalam Undang-undang. Sebagian fatwa DSN MUI telah dimuat dalam peraturan perundang-undangan negara Republik Indonesia , Kedua, regulasi fatwa DSN MUI melalui Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Perma No 2 tahun 2008 mengenai kompilasi hukum ekonomi syariah (KHES) telah diterbitkan. Isi buku Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terdiri dari 4 bab, yaitu subjek hukum dan amwal (harta/benda), akad (perjanjian), zakat dan hibah, serta akuntansi syariah. Secara umum, KHES telah membahas semua sistem akad keuangan syariah seperti diatur dalam fatwa DSN. Ketiga, regulasi fatwa DSN MUI dengan peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia mengenai perbankan syariah ada sekitar 92 aturan semenjak 2004 hingga 2013. Keempat, regulasi fatwa DSN MUI didasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Surat Edara Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia. Keenam, regulasi fatwa DSN MUI oleh Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Menteri Keuangan tahun 2007- 2012 mengenai industry keuangan non bank (IKNB) Syariah. Setidaknya ada 6 peraturan BAPEPAM dan Menteri Keuangan terkait IKNB Syariah di tahun 2007, 2010, 2011, dan 2012. Sebagai contoh, kegiatan asuransi syariah fatwa DSN No 106, 139 diatur dalam peraturan Menteri keuangan nomor 11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi Syariah dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah. Regulasi fatwa DSN MUI melalui enam bentuk tersebut merupakan upaya pemerintah dalam mengatur keuangan syariah secara positivistik. Selain itu, regulasi pemerintah diharapkan dapat mendorong pertumbungan ekonomi syariah di Indonesia dan dalam relasinya dengan ekonomi Islam dunia. Pemerintah sedang berupaya menyiapkan instrumen-instrumen pendukungnya. Salah satunya adalah melalui regulasi fatwa DSN ini dilakukan untuk menjamin kepentingan pemerintah dan masyarakat.
menurut masjupri Penyelenggaraan Hotel Syariah dalam Perspektif Fatwa DSN-MUI No.108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraa Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah Hotel Syariah saat ini menjadi sebuah trend. Di berbagai daerah muncul hotel berlabelkan syariah. Keberadaan Hotel Syariah ini diawali dengan kelahiran group Hotel Sofyan di ibukota Jakarta yang mengubah manajemennya dari hotel konvensional ke hotel syariah pada tahun 2002. Kehadiranya diikuti hotel-hotel lain di berbagai kota, di antaranya Hotel Semesta di Semarang dan Hotel Syariah di Pekalongan (Sapudin, 2014). Kehadiran Hotel Syariah tidak hanya sebagai label belaka. Pelabelan syariah membawa konsekuensi logis bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan hotel syariah harus mengikuti dan patuh terhadap ketentuan syariah, baik dalam pengelolaanya maupun kegiatan operasionalnya. pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan aturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan hotel syariah di Indonesia, yaitu Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah. Kemudian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia juga menetapkan aturan dalam fatwanya yaitu Fatwa DSN-MUI No. 108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah. Bersama dua peraturan tersebut, terutama dengan Fatwa DSN-MUI diharapkan semua kegiatan hotel syariah telah memenuhi prinsip-prinsip Syariah. Hal inilah yang menjadi masalah, apakah hotel syariah khususnya yang berada di Solo atau Surakarta dalam penyelenggaraanya sudah memenuhi ketentuan Fatwa tersebut, karena dibeberapa kota masih ditemukan pengelolaan hotel syariah yang belum sepenuhnya menerapkan prinsip syariah. Suatu misal belum memiliki sertifikat syariah terhadap hotelnya, tidak mencantumkan sertifikat halal atas produknya, termasuk tidak memiliki Standar Operasional (SOP) dalam pengelolaanya Dari sinilah peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut terhadap kepatuhan syariah pada hotel syariah di Surakarta dalam menjalankan usaha perhotelanya. dalam perkembangannya g saat ini telah menjadi sebuah trend sehingga diberbagai kota bermunculan hotel berlabel “syariah”. Di ibu kota yang dikenal mengawali trend ini adalah group Hotel Sofyan, dimana pada tahun 2002 “hijrah” dari sistem perhotelan konvensional menjadi syariah. Di provinsi Jawa Tengah adalah Hotel Semesta Semarang yang pertama mengikuti langkah group Hotel Sofyan. Di Pekalongan muncul hotel dengan melabelkan syariah di depan nama hotelnya. Penggunaan label syariah dalam bisnis hotel merupakan sesuatu yang masih rancu dan asing di masyarakat Indonesia. Hingga kini, hanya beberapa hotel syariah saja yang berani mengumumkan konsep spiritualnya kepada publik. Penggunaan label “syariah” yang digandeng oleh sebuah brand hotel masih belum menjadi ikon yang dikenal luas, apalagi jika dibandingkan dengan maraknya penggunaan label syariah pada industri perbankan. Menurut Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yanti Sukamdani sebagaimana dikutip oleh Anwar Basalamah menyatakan bahwa pilihan menjadi hotel syariah ataupun non-syariah bergantung sepenuhnya dari pengelola bisnis hotel sendiri. Pada dasarnya ia berpendapat bahwa PHRI memberikan keleluasan dan kebebasan kepada seluruh anggotanya untuk menentukan pilihannya dalam berbisnis secara konvensional ataupun secara syariah (Basalamah, 2011). Perkembangan hotel syariah khususnya di Kota Surakarta mengalami peningkatan yang cukup pesat, hal ini dikarenakan kesadaran masyarakat terhadap konsep syariah dan jumlah wisatawan yang terus meningkat serta didukung perkembangan perekonomian yang terus meningkat. Munculnya beberapa hotel berlabel syariah di Kota Surakarta menjadi bukti bahwa hotel syariah banyak diminati masyarakat luar.
Pada kesimpulannya, bab ini menjelaskan tentang regulasi-regulasi yang ada di ekonomi syariah dan juga aturan yang dibuat oleh pemerintah indonesia untuk mengatur bisnis bisnis syariah dan pada bab ini juga dijelaskan pola penyelenggaraan hotel syariah seperti dari segi aspek produk, aspek pelayanan,dan aspek aspek pengelolaannya. dan juga Berdasarkan perspektif fatwa DSN-MUI tentang penyelenggaraan hotel syariah, maka dapat disimpulkan bahwa pola penyelenggaaraan hotel syariah secara umum telah telah memenuhi dan sesuai dengan ketentuan aturan dasar yang telah ditetapkan pada fatwa tersebut. Namun, ada dua aspek yang belum dipenuhi oleh beberapa Hotel Syariah , yaitu aspek kehalalan makanan dan minuman. Masih terdapat Hotel Syariah yang belum mendapat sertifikat halal dari MUI, dan yang kedua masih terdapat hotel syariah yang menggunakan jasa lembaga keuangan konvensional dalam melakukan transaksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H