Bulan lalu saya menyelesaikan kegiatan dari program Kampus Mengajar Batch III, sebuah program yang memberi kesempatan mahasiswa untuk mengajar di beberapa sekolah pilihan, untuk semua mahasiswa dari banyak program studi tidak mengharuskan dari pendidikan.Â
Sebagai gambaran awal yang saya ekspektasikan melalui kegiatan ini ialah bertemu dan mengajar di sekolah, yang mungkin akan menjadi pengalaman satu kali seumur hidup saya karena saya bukan memiliki latar belakang studi pendidikan atau kemungkinan saya tidak akan merasakan kebahagiaan di dalam kelas mengajar anak-anak yang lucu.
Semangat saya untuk membagikan ilmu pengetahuan saya kepada anak-anak menjadi sedikit tertahan karena diwaktu yang sama, saya harus menempuh perjalanan jauh dari kota menuju ke sekolah tujuan.Â
Untuk gen z seperti saya, membayangkan menjadi guru honorer di tengah-tengah masyarakat urban saja sudah menjadi kesulitan tersendiri, apalagi menjadi guru honorer yang berada di desa terpencil, jauh dari kota, dan sulit diakses.Â
Dari hal tersebut juga, saya mendapatkan gambaran mengenai profesi sebagai guru dan dinamika di dalamnya yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan.Â
Sewaktu masih mengabdi disana, pernah saya bersama dengan rekan satu kelompok ditumpangi oleh truk demi membawa kami pergi ke kota. Belum lagi di sepanjang jalan banyak batu-batuan besar yang menghalangi perjalanan.Â
Sampai sini, sudah bisa terbayangkan anak-anak yang bersusah payah untuk ke sekolah. Sama seperti yang saya bayangkan, guru-guru disana sering terlambat dan tidak tepat dengan jadwal. yang lagi-lagi dikarenakan akses yang sulit.Â
Banyak juga guru-guru yang memutuskan keluar karena tidak betah dan jarak tempuhnya yang jauh. Beberapa bertahan, bukan karena akses yang mudah dan upah layak, namun mereka sudah menjadi bagian dari sekolah dan bagian dari yayasan yang menaungi sekolah tersebut.Â
Ketika mengajar, anak-anak sangat senang, gembira, dan antusias dikarenakan kegiatan belajar mengajar jarang sekali ada, lebih sering jam kosong.Â
Dari situ, saya dengan tim berusaha menyadari untuk dapat memberikan pembelajaran yang maksimal selagi kami mengajar disana, memutar otak, dan mencari metode pembelajaran yang pas agar materi tersampaikan dengan baik, bahkan kami menyiapkan pembelajaran malam sebelum esoknya kami mengajar.Â
Meskipun simpang siur mengenai administrasi dari beberapa program Kampus Merdeka, gambaran di atas mungkin menjadi alasan utama Kemendikbud sesegera mungkin melaksanakan program Kampus Mengajar ini sebagai sesuatu hal yang urgen, pasalnya kegiatan tersebut membuka mata mahasiswa sebagai agen perubahan bangsa, bahwa di beberapa tempat menuntut ilmu di Indonesia masih kita temukan anak-anak yang harus menempuh jalan yang terjal dengan batu-batuan besar untuk membaca buku dan belajar, guru-guru yang kehilangan semangat mereka untuk membagikan ilmu mereka, dan ruangan-ruangan kelas yang tidak dipakai belajar.