Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu jenis tindak pidana white collar crime atau kejahatan kerah putih, dimana tindak pidana pencucian uang ini kelanjutan dari kejahatan-kejahatan lain, yang biasanya dilakukan oleh orang perorangan, maupun korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah lain.Hasil dari harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan tersebut pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh pelaku kejahatan, karena apabila langsung digunakan akan mudah dilacak oleh penegak hukum. Biasanya pelaku tindak pidana pencucian uang terlebih dahulu mengupayakan menyimpan harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut ke dalam suatu sistem keuangan, terutama ke dalam sistem perbankan, yang diharapkan dapat menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, sehingga tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Pengaruh pencucian uang pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia. Misalnya, dampak negatif terhadap efektifitas penggunaan sumber daya dan dana yang banyak digunakan untuk kegiatan tidak sah dan menyebabkan pemanfaatan dana yang kurang optimal, sehingga merugikan masyarakat.
Selanjutnya penerapan tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana akan memudahkan penegak hukum untuk melakukan penindakan terhadap pelaku kejahatan tersebut. Misalnya, menyita hasil tindak pidana yang susah dilacak atau sudah dipindahtangankan kepada pihak ketiga. Dengan cara ini pelarian uang hasil tindak pidana dapat dicegah. Orientasi pemberantasan tindak pidana sudah beralih dari “menindak pelakunya” ke arah menyita “hasil tindak pidana”. Pernyataan pencucian uang sebagai tindak pidana juga merupakan dasar bagi penegak hukum untuk memidanakan pihak ketiga yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum
Sebagai mana yang dilansir oleh PPATK pada Buletin Statistik | Edisi Januari 2024 Vol. 12, No. 1, terdapat fakta bahwa jumlah Putusan Pengadilan terkait TPPU/ TPPT Berdasarkan Tindak Pidana Asal mulai tahun 2022-Januari 2024 menyatakan bahwa korupsi menduduki posisi paling atas dengan jumlah kasus posisi 49 kasus dan disusul oleh narkotika sebanyak 33 kasus lalu oleh penipuan sebanyak 32 kasus.
Laporan Transparency International (TI) menunjukkan, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 poin pada 2023.
Angka tersebut stagnan dari perolehan 2022, tetapi peringkatnya justru turun. Indonesia sempat duduk di peringkat 110 pada 2022, turun ke posisi 115 pada 2023. Posisi itu sejajar dengan Ekuador, Malawi, Filipina, Sri Lanka, dan Turki.
Wawan Suyatmiko, Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), mengatakan, IPK Indonesia cenderung selama lima tahun terakhir. Pada 2019 skornya mencapai 40 poin, turun menjadi 37 poin pada 2020. Kemudian naik lagi menjaid 38 poin, tetapi setelahnya turun beruntun masing-masing 34 poin pada 2022-2023. Pada Indeks Korupsi 2023, menunjukkan bahwa Indonesia terus mengalami tantangan serius dalam melawan korupsi.
.Terhadap kasus kasus korupsi yang dilakukan penyidikan dan penuntutan oleh KPK, maka seharusnya KPK, menggunakan undang undang pencucian uang, sebagai pintu masuk, guna ditentukan sanksi pidana terhadap pelaku dan penerima suap, dari tindak pidana korupsi, karena uang atau dana yang besar, dengan digunakan untuk penyuapan atau korupsi, telah memenuhi syarat, bahwa uang yang berjumlah besar tersebut, adalah hasil tindak pidana korupsi. Karenanyan KPK, dengan lebih leluasa, membuktikan asal usul uang, dan untuk kepentingan pemutihan uang, atau sebagai upaya suap, yang berdimensi, kejahatan perekonomian, dengan menggunakan badan hukum, yang profesional dalam kinerjanya. Karena itu cara pembuktian yang luar biasa, dengan tingkat keahlian, kepakaran yang tinggi, dapat menerobos keinginanya, untuk memperkaya diri, orang lain, maupun suatu badan hukum. Serta dengan tujuan untuk secara melawan hukum, merugikan mata keuangan negara, maupun daerah, melalui berbagai pembangunan maupun perencanaan pembangunan di tahap legislatif. Kejahatan pencucian uang, adalah kejahatan yang mempunyai demensi internasioanl, dan sekarang telah menjadi persoalan di setiap negara negara nasional, Pengaturan perbankan yang tidak ketat pengaturannya, tentang pencegahatan tindak pidana pencucian uang, atau negara negara yang membutuhkan uang, dalam rangka pembangunannya, merupakan sarang utama, dan sasaran yang paling disukai oleh para pelaku kejahatan pencucian uang. Kejahatan pencucian uang yang mempunyai dampak yang sangat meluas, melibatkan cara cara yang canggih, maka semestinya penegakan hukum tentang kejahatan ini, menjadi perhatian bagi para penegak hukum, terutama yang menyangkut kejahatan perekonomian, bahkan keterkaitannya dengan tindak pidana korupsi, walaupun dalam peradilan masih sangat sedikit, yang dapat dibuktikan oleh peradilan umum. KPK, baru akan memulai menggunakan perundang undangan tindak pidana pencucian uang, untuk membuktikan dalam perkara korupsi. Hal yang juga menjadi perhatian, adalah tindak pidana pencucian uang, yang berkaitan dengan terorisme, yang sekarang sedang marak terjadi, tetapi belum juga ditemuklan asal usul keuangan atau pendanaaan terorime
Dalam UU No.8 Tahun 2010 diatur mengenai sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana pencucian uang dan yang berhak melakukan proses pengadilannya adalah Pengadilan Umum dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Menurut Yunus Husein ada keunggulan pendekatan follow the money, yaitu:
1) jangkauannya lebih jauh hingga kepada aktor intelektualnya, sehingga dirasakan lebih adil;
2)memiliki prioritas untuk mengejar hasil kejahatan, bukan pelakunya sehingga dapat berhadapan langsung dengan pelakunya yang kerap memiliki potensi melakukan perlawanan;
3) hasil kejahatan dibawa ke depan proses hukum dan disita untuk negara karena pelakunya tidak berhak menikmati harta kekayaan yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak sah, maka dengan disitanya hasil tindak pidana akan membuat motivasi orang melakukan tindak pidana menjadi berkurang;
4)adanya pengecualian ketentuan rahasia bank dan/atau kerahasiaan lainnya sejak pelaporan transaksi keuangan oleh pihak pelapor sampai kepada pemeriksaan selanjutnya oleh penegak hukum.
Pasal 75 UU PP TPPU mengatur penggabungan perkara tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal, apabila penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup. Salah satu jenis tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU PP TPPU adalah tindak pidana korupsi, sehingga penggabungan pemeriksaan perkara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan Pasal 75 UU PP TPPU. Penggabungan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu cara yang paling sering digunakan aparat penegak hukum dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang diikuti tindak pidana pencucian uang. Penggabungan tersebut merupakan kewenangan penuntut umum untuk menentukan apakah menggabung atau memisahkan penuntutan terhadap perkara tersebut.
Penggabungan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian merupakan cerminan dari paradigma baru penegakan hukum tindak pidana korupsi yaitu penegakan hukum terhadap perbuatan dan kekayaan yang berasal dari tindak pidana korupsi. Penggabungan perkara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang dianggap sebagai langkah yang cepat untuk memulihkan kerugian keuangan negara dan sebagai bentuk pemiskinan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Penggabungan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang menimbulkan pro kontra karena tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang adalah tindak pidana korupsi yang belum terbukti secara sah dan meyakinkan. Penggabungan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dapat dianggap sebagai tindakan aparat penegak hukum yang melanggar hak asasi tersangka atau terdakwa karena dituduh melakukan tindak pidana pencucian uang meskipun tindak pidana asalnya belum terbukti. Pada sisi yang lain aparat penegak hukum dapat berdalih bahwa dalam tindak pidana pencucian maka aparat penegak hukum tidak memiliki kewajiban untuk membuktikan tindak pidana asalnya sesuai dengan ketentuan Pasal 69 UU PP TPPU. Ketentuan yang memberikan kesempatan kepada aparat penegak hukum untuk tidak perlu membuktikan tindak pidana asal merupakan cerminan penyimpangan dari asas praduga tidak bersalah. Dengan tidak adanya kewajiban bagi penuntut umum untuk membuktikan tindak pidana asal maka secara hukum dapat dimaknai seakan-akan sudah pasti harta tersebut berasal dari kejahatan. Kedua argumentasi yang dikemukakan berkaitan dengan penggabungan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dapat dibenarkan secara hukum karena di dasarkan pada aturan hukum dan prinsip hukum yang berlaku. Pasal 69 UU PP TPPU tidak dapat diterapkan secara mutlak apabila ada penggabungan perkara antara tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang. Penggabungan perkara tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang menciptakan keadaan adanya 2 (dua) sistem pembuktian yang berlaku dalam pemeriksaan satu perkara
Penulis adalah Mahasiswa Magister Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H