Dalam beberapa tahun terakhir, istilah Quarter-Life Crisis semakin sering terdengar di kalangan mahasiswa dan anak muda. Fenomena ini merujuk pada perasaan kebingungan, keraguan, dan ketidakpastian yang dialami seseorang di awal usia dewasa, terutama terkait dengan masa depan, karier, dan pencapaian hidup. Pada tahap ini, banyak mahasiswa yang merasa tersesat di antara harapan pribadi, ekspektasi keluarga, dan tekanan sosial, hingga akhirnya mempertanyakan arah hidup mereka. Fenomena ini sering kali dipicu oleh perasaan cemas akan masa depan. Mahasiswa yang hampir lulus misalnya, mulai menghadapi pertanyaan serius seperti, "Apa yang ingin saya lakukan setelah lulus?" atau "Apakah jurusan yang saya pilih ini benar-benar cocok dengan minat saya?" Ketika jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini tidak segera ditemukan, muncul rasa cemas dan takut akan pilihan yang salah.
Mengapa Quarter-Life Crisis Terjadi pada Mahasiswa?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut pada mahasiswa. Salah satunya adalah ketidakpastian dalam memilih karier. Di tengah persaingan yang semakin ketat, mahasiswa merasa perlu untuk mencapai hal-hal besar secepat mungkin, sehingga ketika gagal memenuhi ekspektasi, mereka merasa cemas dan gagal. Perasaan ini juga sering diperparah oleh ekspektasi masyarakat yang menganggap bahwa mahasiswa harus sukses dalam segala aspek akademik, sosial, dan finansial. Tekanan dari lingkungan sosial, terutama melalui media sosial. Media sosial sering kali memperlihatkan kesuksesan orang lain secara instan, yang tanpa disadari membuat mahasiswa merasa tertinggal jika mereka belum mencapai hal yang sama. Perbandingan ini menciptakan tekanan dan harapan tidak realistis, sehingga mudah bagi mahasiswa untuk merasa minder.
Ada beberapa langkah untuk menghadapinya yaitu :
1. Kenali Diri dan Tetapkan Prioritas
Quarter-life crisis sering kali berawal dari kebingungan tentang apa yang sebenarnya diinginkan dalam hidup. Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa untuk meluangkan waktu merenung dan mengeksplorasi diri. Menulis jurnal atau berkonsultasi dengan psikolog dapat membantu menemukan jawaban tentang minat, nilai, dan tujuan hidup. Setelah mengetahui apa yang benar-benar penting, mahasiswa bisa menetapkan prioritas dan langkah-langkah kecil untuk mencapainya.
2. Fokus pada Proses, Bukan Hanya Hasil
Quarter-life crisis sering kali diperparah oleh kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain. Penting untuk diingat bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda. Mahasiswa bisa fokus pada proses dan perkembangan diri. Ini akan membantu mereka menghargai setiap langkah kecil yang sudah dicapai, tanpa merasa terbebani oleh hasil akhir.
3. Belajar Menerima Ketidakpastian
Tidak ada yang pasti di dunia ini, termasuk karier dan masa depan. Alih-alih merasa terjebak dalam ketidakpastian, mahasiswa perlu belajar menerima bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Fleksibilitas dan kemampuan untuk beradaptasi sangat penting untuk menghadapi perubahan yang tidak terduga. Dengan begitu, mahasiswa bisa lebih tenang dalam menjalani hidup tanpa dibebani kecemasan yang berlebihan.
Meski quarter-life crisis sering dianggap sebagai sesuatu yang negatif, ada sisi positif yang bisa diambil dari permasalahan. Menghadapi krisis ini bisa menjadi kesempatan untuk bertumbuh dan memahami diri lebih dalam. Melalui proses ini, mahasiswa bisa lebih siap menghadapi tantangan di masa depan karena mereka sudah pernah melalui fase ketidakpastian yang menantang.
Quarter-life crisis adalah bagian alami dari proses menuju kedewasaan. Mahasiswa bisa melihatnya sebagai bagian dari perjalanan hidup yang mengajarkan mereka untuk lebih kuat, mandiri, dan bijak dalam mengambil keputusan. Dengan sikap yang tepat, quarter-life crisis bukanlah hal yang perlu ditakuti, melainkan kesempatan untuk menemukan versi terbaik dari diri kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H