Pernahkah terlintas bagaimana kehidupan seorang dokter?
Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah personal blog milik seorang dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialisasi, beliau berkomentar mengenai kasus yang 'orang-awam-bilang' malpraktik. Geli, jengkel dan geleng-geleng saya membaca komentar blogger dan reader lain, terlebih lagi jika menyinggung, 'Bagaimana jika anda diposisi keluarga pasien?' dan pertanyaan lain semacam itu. Ya walaupun itu hak mereka sih ya mau berkata apa.
Disini saya mencoba mengungkapkan dari posisi seorang anak yang kebetulan dilahirkan dalam lingkupan medis yang kental, dan sedang dalam masa pendidikan untuk mengikuti jejak pendahulu. Sebut saja dokter pediatri gawat darurat, begitu biasanya beliau dikenal. Yang namanya 'gawat darurat' biasanya diposisikan di front line atau yang biasanya menerima pasien pertama kali, tapi ini berbeda. Saya membatasi lingkup ke'gawat-darurat'an saya di area PICU, Pediatric Intensive Care Unit.
Yang namanya Intensive Care Unit, seperti yang kita tahu adalah bagian perawatan khusus untuk pasien dengan tingkat kesakitan lanjut maupun akhir. Tak ada keluarga yang menginginkan anggotanya untuk dirawat di bagian ini. Toh, hanya sekedar berharap untuk sakit pun tak pernah kan.
Berbagai sifat keluarga pasien sering ditemui. Secara garis besar adalah :
- Keluarga 'Dok-lakukan-apa-saja-demi-kesembuhan'
- Keluarga Aktif-Komunikatif
- Keluarga 'Ngeyelan' atau 'Dok-kapan-boleh-pulang'
- Keluarga 'Dok-setau-saya'
Nah, menurut saya, yang paling 'berbahaya' adalah keluarga tipe pertama, keluarga 'Dok-lakukan-apa-saja-demi-kesembuhan'. Sebagai seorang dokter, sudah sewajarnya lah melakukan apa saja sesuai kompetensinya demi kesembuhan pasien, namun semuanya kembali berpulang kepada Yang Kuasa dan Sang Pemilik Kehidupan. Mengapa saya bilang berbahaya?
Sejatinya, masyarakat Indonesia itu kurang membudayakan mendengarkan. Seperti yang  sempat menjadi kejanggalan pada kasus terakhir adalah, 'keluarga pasien tidak merasa menandatangani informed-consent', kemungkinan besar terletak pada komunikasi yang kurang lancar. Kenapa? Sudah selayaknya SOP Rumah Sakit dan ketentuan etik, bahwa sebelum melakukan sebuah tindakan medis, dokter mempunyai kewajiban untuk memberitahukan perincian tindakan apa yang akan dilakukan pada pasien. Namun sering kali, keluarga pasien hanya menerima pengertian 'informed consent' secara mentah-mentah sebagai sebuah formulir pernyataan yang harus ditandatangani, padahal, tidak setiap tindakan medis memiliki form persetujuan secara tertulis.
Kembali lagi pada kaitan kasus, jenis keluarga berbahaya dan peran dokter, serta pernyataan persetujuan.
Berbahaya karena: keluarga tidak merasa menandatangani persetujuan, tapi secara lisan langsung mengiyakan tindakan medis ditambahi embel-embel, 'iya, Dok. Sudah lakukan saja. Apa saja demi kesembuhan.'
Giliran ada komplikasi medis, yang dituntut malah dokternya. Pak, bu ... yang tadi MENYETUJUI itu SIAPAAAAA??? Naaaaaah! Kalo sudah begini kan, jadi bingung siapa yang mau disalahkan.
Menunjuk kembali pada komentar, 'Bagaimana jika anda menjadi keluarga pasien?'. Dokter itu cuma manusia. yang kebetulan mendapat kesempatan untuk belajar medis. Tidak ada dokter yang sempurna. Dokter juga punya keluarga. Dokter punya istri. Dokter punya anak. Dokter juga punya kehidupan kok.