Mohon tunggu...
NABILA FAIRUZA ALIFAH
NABILA FAIRUZA ALIFAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi aktif, mempunyai minat dan bakat dibidang seni dan olahraga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengenang Jasa Pahlawan Cut Nyak Dhien

29 November 2024   20:10 Diperbarui: 29 November 2024   19:53 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, (12 Mei 1848 – 6 November 1908);[1] dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Tewasnya Ibrahim Lamnga di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 kemudian menyeret Cut Nyak Dhien lebih jauh dalam perlawanannya terhadap Belanda.

Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien
Lahir : 12 Mei 1848
Kesultanan Aceh Lampadang, Kesultanan Aceh
Meninggal : 6 November 1908 (umur 60)
Belanda Sumedang, Hindia Belanda
Sebab meninggal
Meninggal karena sakit-sakitan setelah diasingkan oleh Belanda.
Tempat pemakaman: Komplek Makam Cut Nyak Dhien, Sumedang, Jawa Barat
6°51′47.7″S 107°54′59.1″E
Nama lain :Ibu Perbu / Ibu Ratu / Ibu Suci (Sumedang)
Dikenal atas: Pahlawan Nasional Indonesia
Gerakan politik: Perang Aceh dengan Belanda
Lawan politik: Belanda Belanda
Suami/istri: Ibrahim Lamnga
(m. 1862; meninggal 1878)
Teuku Umar
(m. 1880; meninggal 1899)
Anak: Cut Gambang
Orang tua: Teuku Nanta Seutia
Kerabat: Teuku Mayet Di Tiro (Menantu)
Hasan Di Tiro (Cicit): Keluarga
Teuku Rayut : (Saudara Kandung)
(1964) Pahlawan Nasional Indonesia

Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, setelah sebelumnya ia dijanjikan dapat ikut turun di medan perang jika menerima lamaran tersebut. Dari pernikahan ini Cut Nyak Dhien memiliki seorang anak yang diberi nama Cut Gambang.[2] Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Usia Cut Nyak Dien yang saat itu sudah relatif tua serta kondisi tubuh yang digrogoti berbagai penyakit seperti encok dan rabun membuat satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.[3][4] Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Keberadaan Cut Nyak Dhien yang dianggap masih memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan rakyat Aceh serta hubungannya dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap membuatnya kemudian diasingkan ke Sumedang. Cut Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh.[5]

NIHAYATUL MUFIDA/24011010052



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun