Indonesia merupakan negara yang kaya akan Sumber Daya Alam. Berdasarkan data yang dikutip dari KLHK dan Kementerian ESDM, potensi SDA Indonesia memang berlimpah. Sebut saja di sektor Pertambangan, Indonesia memiliki cadangan batu bara sebanyak 39,89 miliar ton, tembaga 2,76 miliar ton, nikel 5,57 miliar ton, timah 1,5 juta ton Sn, logam besi 3 miliar ton, bauksit 2,4 miliar ton, emas 1.132 Au dan Perak 171,499 Ton Ag. Kemudian di sektor Kehutanan, Luas wilayah Hutan di Indonesia mencapai 99,6 juta hektar, yang didalamnya terdapat 25.000 jenis flora, 400.000 jenis hewan dan ikan, dan pada tahun 2021, jumlah perkebunan sawit sendiri mencapai 15.081.021 hektare. Sehingga, UUD NRI 1945 Pasal 33 telah mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Â Â Â Â Â
Namun dalam realitasnya, kekayaan alam tersebut belum mampu menjamin kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu contohnya, sebagaimana dikutip di BBC News, Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba di Desa Tebing Tinggi, Sumatra Selatan setelah menyerahkan lahan kepada PT Lonsum pada 1995, yang menjanjikan kesejahteraan karena tanah mereka telah berganti menjadi perkebunan sawit, ternyata mereka justru melewati penjara ke penjara akibat konflik agraria dan kemiskinan. Mereka dijanjikan oleh PT Lonsum akan dibangunkan kebun plasma yang hasilnya menjadi hak Orang Rimba.Â
Namun, minyak sawit bernilai jutaan dollar itu tidak pernah dinikmati sepeser pun oleh Orang Rimba. Mereka tetap berada di ambang kemiskinan dengan tinggal di rumah pondok dan berusaha mencukupi kebutuhan pangan dengan berburu seadanya di hutan yang tersisa. Ini hanyalah satu dari seratus lebih konflik perkebunan sawit dalam sepuluh tahun terakhir.
Kemudian di sektor pertambangan sendiri, sepanjang tahun 2020 jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat terjadi 45 konflik tambang yang mengakibatkan 69 orang dikriminalisasi dan lebih dari 700.000 hektare lahan rusak, dan jika dijumlah sepanjang 2014-2020, luasan konflik mencapai 1,6 juta hektare. Sebagai contoh, pertambangan pasir di Pulau Kodingareng, Makassar, Sulawesi Selatan menyebabkan Nelayan semakin kesulitan mendapatkan ikan, sehingga mereka menggadaikan harta benda yang tersisa seperti perahu maupun emas, karena anak-anak mereka terancam tidak bisa melanjutkan Pendidikan disebabkan kekurangan biaya.Â
Mereka kerap berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, karena pendapatan dari nelayan saat ini hanya 10.000 tiap kali melaut. Berdasarkan riset WALHI, masyarakat sekitar memang mengalami kerugian hingga 80 Miliar rupiah akibat tambang pasir laut tersebut.
Hal ini semakin memperkuat pernyataan dari mantan Ketua KPK, Abraham Samad sebagimana dikutip dari media Detik, bahwa jika negara berhasil memperbaiki Tata Kelola sektor pertambangan dan menutup ruang terjadinya fraud dan korupsi, maka negara akan mendapatkan pemasukan yang luar biasa, untuk meningkatkan penghasilan masyarakat dan memperbaiki taraf hidup di sektor Pendidikan maupun Kesehatan. Bahkan Indonesia bisa bebas dari hutang, dan setiap kepala orang Indonesai bisa mendapat sekitar 20 juta tiap bulan.Â
Namun kenyataannya, bukan rakyat yang dimakmurkan, tapi para oligarki tambang dan perkebunan. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang mengalami Kutukan Sumber Daya Alam (The Curse of Natural Resources). Dikutip dari IESR, fenomena ini merupakan sebuah negara yang kaya akan SDA mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibanding negara yang tidak memiliki kekayaan alam.Â
Bahkan dapat dikatakan bahwa kekayaan alam yang mereka miliki justru membawa masyarakatnya hidup didalam garis kemiskinan dan penuh dengan konflik, diakibatkan kegagalan negara dalam menterjemahkan kekayaan alam menjadi alat pendorong kesejahteraan masyarakat. Salah satu penjelasan mengapa kekayaan alam tersebut belum mampu membawa kesejahteraan, dikarenakan tata kelola yang serampangan, minimnya keterbukaan kepada publik, serta tingginya angka korupsi dan suap yang ironisnya difasilitasi oleh engara melalui pejabat dan aparat penegak hukum. Mulai di tingkat kepala desa, camat, bupati/walikota, gubernur, menteri, polisi, jaksa, hakim bahkan tentara. Hal ini merupakan contoh sempurna dari "State Captured Corruption"
Namun, menghadapi realitas tersebut, Pemerintah cenderung mengedepankan hukum yang bersifat formal-legalistik dalam penyelesaiannya. Padahal secara sosiologis, masyarakat Indonesia adalah beragam, termasuk hukumnya. Meskipun hukum negara berusaha mengakomodir hak masyarakat terdampak tambang dan sawit, benturan-benturan yang terjadi tetap menempatkan masyarakat terdampak dalam posisi marginal. Hal ini tidak terlepas dari relasi kuasa antar tiga aktor terkait, yakni Negara, Korporasi dan Masyarakat.Â
Konflik tersebut tak lepas dari konflik hukum, yakni perebutan, penguasaan maupun pendudukan lahan oleh Negara maupun Korporasi. Sebab, belum ada political will yang kuat dari Pemerintah untuk mengedepankan konsep pembangunan dan tata Kelola SDA yang lebih berkeadilan dan berperspektif Hak Asasi Manusia. Sehingga, sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan akses keadilan.Â
Fenomena ini diperkuat dengan Pernyataan Wendra Yunaldi, pengajar Hukum Adat UMSB sebagaimana dikutip dalam Media Tirto, bahwa ketidakadilan yang kerap menimpa masyarakat adat maupun masyarakat lokal dalam konflik tambang dan sawit adalah karena pengadilan tak mengakui bukti kepemilikan secara adat. Hakim mayoritas melihat bukti penguasaan lahan berdasarkan dokumen resmi, tanpa memahami konteks sejarah dan sosiologi masyarakat sekitar.Â