Mohon tunggu...
Nabila Afira Quraina
Nabila Afira Quraina Mohon Tunggu... Konsultan - Female

bebas menulis sesuai dengan ide, pengalaman, dan gaya bahasaku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tidak Pernah Cukup dari Kata "Ingin"

16 April 2020   15:25 Diperbarui: 16 April 2020   15:41 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/

[Lanjutan]

Lega rasanya ketika aku dapat menumpahkan segala rasa kecewa dan sakit dalam sebuah tulisan. Mungkin aku egois menuliskan kronologi dengan apa adanya tanpa sensor sedikitpun. Rasa lega yang sekaligus datang rasa penyesalan. Penyesalan karena secara kasar aku telah menjelekkan keadaan keluargaku dalam sebuah tulisan yang ter-publish. Namun, dibalik rasa penyesalan itu aku ingin menyuarakan bahwa semua ini selalu ada hikmahnya. Aku tidak menyesal memiliki keluarga seperti mereka, hanya saja aku sedang menyesali diriku sendiri.

Mungkin ada beberapa orang diluar sana merasakan perasaan yang sama sepertiku tetapi memilih tak bersua dengan anggapan bahwa itu adalah aib. Bisa dikatakan borok. Namun, semua pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Aku percaya itu. Ada yang memiliki keluarga yang sangat berkecukupan namun tidak ada waktu untuk quality time. Ada juga keluarga yang hidup pas-pasan bahkan kekurangan namun mereka memiliki keluarga yang adem ayem. Ada juga yang kelihatannya adem ayem eh ujung-ujungnya broken home. Sejujurnya aku tidak boleh iri akan hal itu. Seharusnya seperti itu.

Namun, sifat serakah ini selalu saja datang menghampiri. Sifat serakah yang tidak pernah cukup dari kata "ingin". Aku "ingin" memiliki keluarga yang bla-bla-bla. Sering sekali berandai-andai bila aku lahir dari keluarga si A pasti akan menyenangkan karena bapaknya kocak. Jika aku berada dalam keluarga si B pasti menenangkan karena ibunya santun dan lembut, dan seterusnya selalu begitu. Memang aku selalu mendongak tanpa melihat situasi yang ada dibawahku. Pikiran dan hati ini terlalu terkotori dengan kata serakah yang membuatku tersiksa bila angan itu hanya sekadar bayangan yang tidak akan pernah terwujud.

Aku jarang bahkan hampir tidak pernah melihat kondisi orang-orang yang berada dibawahku. Syukur yang kurang dan nafsu serakah yang tidak pernah tercukupi. Aku memang hidup di lingkungan yang baik sehingga jarang sekali aku melihat kesusahan orang lain diluaran sana. Contohnya, aku memiliki teman SMP (teman yang juga tetangga dulu) dengan keadaan keluarganya yang tadinya adem ayem ujung-ujungnya broken home. Semenjak broken home itu temanku menjadi sosok yang berbeda bahkan akhirnya ia menikah di usia muda karena sebuah 'incident'.

Ada juga teman semasa kuliah dulu hidup pas-pasan. Awal semester satu dia tidak pernah absen saat teman-teman kelasku mengadakan tour dadakan. Namun di awal semester dua hingga seterusnya, dia selalu absen. Ternyata saat itu dia nyambi kerja sebagai waiter di suatu rumah makan. Katanya lumayan buat uang jajan dan UKT semester. Waktu itu aku iba, tetapi rasa iba tidak membuatku lekas bersyukur. saat itu aku masih terfokus dengan bagaimana caranya supaya aku dapat refreshing, main, dan menghabiskan uang jajanku demi memuaskan sebuah keinginan.

Mungkin aku adalah salah satu hamba yang sudah jauh dari jalan-Nya. Mementingkan diri sendiri tanpa mempedulikan orang lain. Memaksakan kehendak supaya apa yang aku inginkan dapat tercapai. Bila kemarin aku cerita karena kekecewaan terhadap keluargaku, lantas mereka juga pasti kecewa dengan aku sebagai anaknya yang tak  pernah membanggakan. Usiaku sudah dikategorikan dewasa, tetapi mentalku tidak. Eh, lebih tepatnya 'belum dewasa'. Ingin rasanya memaki diri sendiri tetapi itu tidak cukup untuk menebus kekecewaaan mereka terhadapku.

"Almost is never enough"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun