Mohon tunggu...
Nabila DewiKartika
Nabila DewiKartika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang

selamat membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Semakin Tak Kondusif Ancaman Kebebasan Pers

26 April 2021   23:10 Diperbarui: 26 April 2021   23:43 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kasus kekerasan terhadap jurnalis semakin suram karena upaya penegakan hokum yang berjalan lambat. Ketua umum Aliansi Jurnalis Independen(AJI) Indonesia, Abdul Manan menyatakan kebebasan pers di Indonesia pada tahun 2020 lalu memburuk dengan adanya 84 kasus kekerasan, begitu pula tahun-tahun sebelumnya.

Manan mengatakan bahwa secara akumulatif jumlah kasus pada 2020 merupakan yang tertinggi sejak tahun 2006 silam. Pada tahun 2020 juga terdapat serangan siber yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Diduga kasus kekerasan ini lebih sering terjadi di lapangan namun tidak tercatat karena terbatasnya sumber daya manusia untuk memverifikasinya.

Kasus kekerasan tercatat banyak terjadi di Jakarta (17 kasus), disusul Malang (15 kasus), Surabaya (7 kasus), Samarinda (5 kasus), Palu, Gorontalo, Lampung masing-masing 4 kasus. Kekerasan yang terjadi ialah intimidasi, kekerasan fisik, perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan, serta ancaman atau terror. Berbagai kekerasan terhadap jurnalis ini terjadi dalam rentang 7-21 Oktober 2020 saat peliputan untuk unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di sejumlah wilayah, Diranah digital tercatat sejumlah kekerasan terhadap jurnalis dan perusahaan media juga terjadi.

Menurut Manan, seharusnya Dewan Pers melindungi kerja-kerja jurnalis seerti yang tertuang dalam Undang-Undang Pers. Menurutnya, Indonesia merupakan negara yang kebebasan persnya terjamin dan itu salah satu tugas dari Dewan Pers, alih-alih menangani berbagai laporan dugaan pelanggaran kode etik jurnalistik. AJI Indonesia menggunakan tolak ukur kasus wartawan sebagaimana yang termuat dalam pedoman penanganan kasus yang dibuat oleh Dewan Pers dan konstituennya. Termasuk didalamnya tindakan menghalang-halangi wartawan melakukan tugasnya adalah bentuk kekerasan.

"Dewan Pers tidak pakai data AJI sebagai rujukan karena ketidaksamaan pandangan yang belum diselesaikan. Kalau Dewan Pers merasa tolak ukur AJI tidak tepat, mari kita diskusikan apa standarnya dan kita advokasi bersama," imbuh Manan.

Berkaca dari catatan akhir tahun 2020 ini, Manan menilai ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia pada 2021 masih tetap tinggi. Dia berharap pemerintah dan Presiden Joko Widodo memperlihatkan kebijakan terkait jaminan kebebasan pers. Salah satunya melalui upaya sungguh-sungguh penegakan hukum atas berbagai laporan kasus kekerasan yang sudah diterima oleh Kepolisian RI. “Sesungguhnya jika kebebasan pers terancam yang dirugikan itu publik,” tegas Manan.

penulis: Nabila Dewi Kartika Putri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun