Sejuta makna terkait dengan hari lahir Nahdlatul Ulama (NU) Â pada 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 yang didirikan di Surabaya, Jawa Timur. Halah NU yang ke-102 yang merupakan organisasi berbasis keagamaan terbesar di Indonesia menjadi spirit masyarakat pedesaan, khususnya pesantren untuk meningkatkan kesejahteraan bersama.
Dalam rangka harlah, Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf menyerukan agar NU mampu merumuskan dan melaksanakan kerja-kerja nyata untuk membangun kultur santri menjadi kekayaan dan modal besar bangsa Indonesia. Dari data Kementerian Agama, jumlah santri NU sekitar 5 juta. Itu jumlah yang sangat signifikan sebagai SDM bangsa yang akan memikul panji-panji keulamaan atau terlibat aktif dalam masyarakat sesuai dengan keahliannya. Jumlah itu belum terhitung alumnus-alumnus pesantren yang jumlahnya lebih besar sebagaimana kita ketahui bahwa estimasi kaum Nahdliyin mencapai 56,9 persen atau 180 juta dari total penduduk Indonesia.
Peringatan Harlah ke 102 NU perlu diwarnai dengan pengembangan ekonomi kerakyatan. Inilah tantangan NU yang perlu diusahakan sekiat tenaga. Keniscayaan,indikator kebangkitan NU adalah tingkat ekonomi umatnya. Bahkan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Chasbullah sebelum mendirikan NU sudah mendirikan Nahdlatut Tujjar (NT) pada tahun 1918.
"Wahai pemuda putra bangsa yang cerdik pandai dan para ustadz yang mulia, mengapa kalian tidak mendirikan saja suatu badan usaha ekonomi yang beroperasi dimana setiap kota terdapat satu badan usaha yang otonom untuk menghidupi para pendidik dan penyerap laju kemaksiatan" (Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy'ari -- Deklarasi Nahdlatut Tujjar 1918).
Tujuan pendirian NT adalah karena kaum Muslimin khususnya di lingkungan pesantren cenderung tajarrud (mengisolasi) dan kurang agresif dalam mencari nafkah atau melakukan kegiatan usaha. Padahal, kondisi ekonominya masih lemah. Kedua, masyarakat kurang tahu masalah perniagaan serta kurang memahami proses produksi bahan atau barang yang dibutuhkan pasar. Kedua hal ini mesti diatasi oleh kiai dan ustadz.
Nahdlatut Tujjar memiliki arti Kebangkitan Pedagang merupakan gerakan kebangkitan ekonomi rakyat yang tidak dapat dipisahkan dengan NU. K.H. Hasyim Asy'ari, melanjutkan gerakan NT dengan mendirikan Syirkatul 'Inan atau semacam koperasi. Syirkatul 'Inan dikelola secara profesional oleh para santri dan mampu mengimbangi bank yang dimiliki oleh pemerintah kolonial.
Nahdlatut Tujjar berkembang pesat di tiga poros kota utama Jawa Timur, yaitu Surabaya, Kediri, dan Jombang. Akar sejarah ini menunjukkan betapa NU sangat memperhatikan aspek perekonomian. Akar diatas masih terlihat dalam entitas perekonomian yang berupa pasar tradisional. Di pasar-pasar tradisional para pedagang banyak dari kalangan Nahdliyin. Dengan reinventing atau menggali kembali spirit Nahdlatut Tujjar, pengurus NU perlu terjun membuat program kerja untuk memberdayakan pasar tradisonal. Juga mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh para pedagang seperti memberantas rentenir dengan modus-modus barunya seperti pinjaman online (pinjol).
Terkait dengan pasar sebagai entitas kebudayaan sebenarnya diadopsi dari pasar di Timur Tengah. Kita bisa melihat fenomena itu di negara Mesir. Disana ada pasar bernama El Khalili yang mampu melahirkan seorang peraih hadiah Nobel. Yakni Najib Mahfuz, seorang penulis novel terkenal Mesir. Dia telah mendapat Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1988. Khan El-Khalili (1945) dan Midaq Alley (1947) adalah dua judul novelnya yang berlatar belakang suasana pasar tradisional.
Kini kedai kopi yang dulu menjadi tempat berkreasi dan berkontemplasi bagi si peraih Nobel diatas telah menjadi destinasi wisatawan dunia yang sangat terkenal. Bahkan, warung dan kedai tersebut kini dikelola oleh pihak hotel berbintang lima sebagai ikon marketingnya. Para wisatawan kebanyakan makan siang dan juga banyak yang hanya duduk-duduk di cafe untuk minum masing-masing secangkir kecil Turkish Coffee (kopi Turki). Bagi yang telah menonton film nasional Ketika Cinta Bertasbih besutan Chaerul Umam bisa melihat situasi pasar El Khalili yang menjadi latar film tersebut.
Pasar tradisional tidak perlu dibenturkan dengan pasar modern atau mall. Tetapi harus dicari aspek sinerginya. Banyak pihak yang kurang menyadari bahwa ada fungsi strategis yang diperankan pasar tradisional, yakni menjadi peredam inflasi terkait dengan perubahan harga kelompok komoditas pangan atau volatile foods. Selama ini data empiris menunjukkan bahwa sumbangan perubahan harga kelompok komoditas pangan terhadap inflasi akhir-akhir ini cukup signifikan. Gejolak salah satu harga kelompok volatile foods saja seperti misalnya komoditas cabai, bawang putih, bawang merah, daging sapi dan sayuran akan berakibat inflasi yang berfluktuasi.
Sudah saatnya NU dan lembaga-lembaga otonomnya ikut mengembangkan pasar tradisional dengan membentuk sistem logistik terintegrasi. Sehingga pengembangan pasar tradisional bisa terpadu dengan infrastruktur logistik seperti pergudangan, fasilitas kontrol mutu dan infrastruktur penunjang lainnya. (NA)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI