Mohon tunggu...
Nabila Alisa
Nabila Alisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

hoby saya membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa Asuransi Syariah Itu Penting?

14 Februari 2023   20:05 Diperbarui: 14 Februari 2023   20:47 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asuransi Syariah merupakan kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegan polis dan perjanjian di antara pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi. Untuk itu, asuransi Syariah sangat penting bagi seseorang. Mengapa? Karena, pada umumnya asuransi Syariah bertujuan untuk memberikan rasa aman saat menghadapi suatu resiko kehidupan. Yang mana asuransi Syariah ini bias dikatakan berbeda dengan asuransi konvensional, walaupun keduanya sama-sama bertujuan untuk memberikan proteksi ketika resiko datang menghampiri. Adapun perbedaan yang mendasar antara keduanya yakni jika asuransi Syariah itu menggunakan prinsip-prinsip sesuai dengan syariat sedangkan dalam asuransi konvensional menggunakan prinsip asuransi secara umum. Asuransi Syariah ini memiliki keunggulan dari produknya dibandingkan dengan asuransi konvensional, contohnya dalam asuransi Syariah ini menggunakan prinsip tolong menolong melalui dana tabbaru', ada pembagian hasil sesuai dengan akadnya, bebas riba, dan hasilnya transparan serta diawasi dengan pengawas Syariah untuk menjamin transaksi sesuai prinsip Syariah. Hal itu sangat menguntungkan bagi pengguna asuransi Syariah, jadi bisa dikatakan bahwa asuransi Syariah ini penting bagi kehidupan seseorang.

Dan dalam konsepnya asuransi menggunakan konsep "Sharing Risk" dimana para peserta memiliki tujuan yang sama yakni tolong menolong, yakni melalui investasi aset/ tabarru' yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu menggunakan akad yang sesuai dengan syariah yang diwakilkan pengelolanya ke perusahaan asuransi syariah dengan imbalan ujrah

Bagaimana argument pandangan ulama terhadap kebolehan dan ketidakbolehan asuransi?

Banyak pendapat ulama yang mengatakan boleh atau tidaknya asuransi berjalan. Beberapa Ulama yang menyatakan bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan dalam Islam adalah pendapat yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf beliau adalah seorang pengarang Ilmu Ushul al-Fiqh, Mustafa Ahmad Zarqa beliau adalah Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syariah Universitas Syiria, Muhammad Yusuf Musa beliau adalah Guru Besar Hukum Islam di Universitas Cairo Mesir, Muhammad Nejatullah Siddiq, dan Abdurahman Isa beliau dikenal sebagai pengarang kitab al- Muamallah al-Haditsah wa Ahkamuha. Adupun beberapa alasan yang mereka kemukakan yaitu yang pertama tidak ada nash baik dalam al-Qur'an maupun Sunnah yang secara jelas dan tegas melarang kegiatan asuransi, ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak baik penanggung maupun tertanggung, selanjutnya saling menguntungkan kedua belah pihak, asuransi dapat berguna bagi kepentingan umum, sebab premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan. Atau dengan kata lain lemaslahatan dari usaha asuransi lebih besar dari pada mudharatnya, alasan selanjutnya asuransi dikelola berdasarkan akad mudharabah atau akad bagi hasil, asuransi termasuk kategori koperasi (Syirkah Taawuniyah), usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong-menolong, dan alasan yang terakhir adalah asuransi dianologikan atau diqiyaskan dengan dana pensiunan seperi Taspen.

Adapun beberapa ulama yang tidak memperbolehkan adanya asuransi, mereka berpendapat bahwa segala asuransi dalam segala aspeknya adalah haram, termasuk Asuransi Jiwa, Asuransi Sosial, Maupun Asuransi Komersial. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Ulama seperti Sayid Sabiq yang dikenal sebagai pengarang Fiqh as-Sunnah, Abdullah Al- Qalqili (Mufti Yordan), Muhammad Yusuf Qordawi beliau adalah seorang pengarang al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, dan Muhammad Bakhit Al-Muth'i (Mufti Mesir). Menurut pandangan kelompok ini asuransi diharamkan karena beberapa alasannya diantara lain adalah auransi mengandung unsur perjudian atau yang biasa disebut dengan Maisyir yang dilarang dalam Islam, asuransi mengandung ketidak pastian atau Gharar, asuransi mengandung unsur riba atau ranten yang secara jelas dan tegas di larang dalam Islam, alasan selanjutnya asuransi bersifat eksploitasi karena jika peserta tidak sanggup melanjutkan pembayaran premi sesuai dengan perjanjian maka premi hangus atau hilang atau dikurangi secara tidak adil (peserta dizalimi), premi-premi yang sudah dibayarkan seringkali akan diputar dalam praktik-praktik riba, asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang yang bersifat tidak tunai atau disebut dengan akad sharf.

Analisis Fatwa DSN-MUI tentang Asuransi Syariah

Asuransi Syariah diatur dalam fatwa No.21/DSN-MUI/X/2001 yang mana terdapat sebelas bagian. Bagian pertama membahas tentang ketentuan umum. Dimana didalam ketentuan umum terdapat beberapa point didalamnya, diantaranya adalah Asuransi Syariah (Ta'min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru' yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Point kedua, akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat, point ketiga akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial, point keempat akad tabarru' adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial, point kelima premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad, dan point keenam klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Sedangkan dalam bagian kedua membahas tentang Akad dalam Asuransi. Yang didalamnya terdapat beberapa point, diantaranya akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan / atau akad tabarru', akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru' adalah hibah, dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan hak & kewajiban peserta dan perusahaan, cara dan waktu pembayaran premi serta jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru' serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan. Bagian Ketiga membahas tentang Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru' yang didalamnya terdapat point yang berbunyi dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis) dan juga dalam akad tabarru' (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah. Bagian Keempat membahas mengenai Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru' yang terdapat point jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya dan jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah. Bagian Kelima membahas mengenai Jenis Asuransi dan Akadnya, pointnya adalah dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa, sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah. Bagian Keenam membahas mengenai Premi, yang mana terdapat beberapa point yakni pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru', untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya, premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta, premi yang berasal dari jenis akad tabarru' dapat diinvestasikan. Bagian Ketujuh membahas tentang Klaim, pointnya adalah klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian, klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan, klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya, klaim atas akad tabarru', merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad. Bagian Kedelapan adalah tentang Investasi, pointnya perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul, investasi wajib dilakukan sesuai dengan Syariah. Bagian Kesembilan membahas mengenai Reasuransi, Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syari'ah. Bagian Kesepuluh membahas mengenai Pengelolaan, bahwa pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah, perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah), perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru' (hibah). Bagian Kesebelas membahas tentang Ketentuan Tambahan yang didalamnya terdapat beberapa point yakni implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS, jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah, fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Sehingga dapat disimpulkan dalam Fatwa DSN-MUI No.21/DSN-MUI/X/2001 metode penemuan hukum berdasar kepada Al-Quran, Hadits, dan kaedah Fiqhiyah, meskipun tidak menyinggung secara langsung tetapi dalil tersebut bisa dijadikan sebagai dasar hukum kebolehan dari asuransi syariah, apalagi jika di pandang dari konsep maslahah al mursalah.

Nama Anggota Kelompok:

1. Ryan Dwi Novitasari | 202111006

2. Pramudya Maulana Hilman | 202111052

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun