Ujaran kebencian atau hate speech bukanlah hal yang jarang kita temui. Namun, pernahkah Anda berpikir bagaimana hal tersebut banyak terjadi? Apakah oknum-oknum tersebut memang betul-betul memiliki niatan jahat dalam diri mereka?
Maraknya ujaran kebencian dapat kita temui, baik di kehidupan sehari-hari maupun di media sosial. Sayangnya pada 2020, Indonesia sempat mendapatkan label "Negara dengan Tingkat Ketidaksopanan Tertinggi di Asia Tenggara" menurut laporan Digital Civility Index (DCI) yang dirilis oleh Microsoft. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Persoalan tersebut dapat kita jawab menggunakan Broken Windows Theory dicetuskan oleh James Q. Wilson dan George L. Kelling yang didasarkan dari pengamatan terhadap suatu fenomena kriminal. Teori ini mengungkapkan bahwa ketidakselarasan kecil di suatu lingkungan jika dibiarkan tanpa tindakan atau penanganan lebih lanjut dapat menciptakan kekacauan yang lebih besar bahkan kejahatan serius.
Fenomena ini dibuktikan dengan eksperimen lainnya, yaitu oleh Marina Abramovic. Seorang  seniman yang sempat kontroversial karena membiarkan orang lain untuk melakukan apapun terhadap dirinya. Di beberapa saat awal eksperimen, tidak seorangpun berani untuk menyentuhnya. Kemudian seseorang mulai memberikan setangkai bunga, diikuti beberapa orang lainnya yang memberinya kue, pelukan hingga ciuman padanya. Setelah melihat bahwa Marina tidak memberikan respon apapun, beberapa partisipan mulai menyentuh bagian-bagian tubuhnya. Beberapa diantaranya bahkan menggunting pakaian dan melakukan kekerasan yang meninggalkan beberapa luka pada Marina hingga hampir membunuhnya.
Di lingkungan yang awalnya aman, jika ada satu "jendela" yang pecah dan tidak diperbaiki, hal itu bisa mendorong orang lain untuk ikut merusak "jendela" lainnya. Teori ini menjelaskan bahwa perilaku seseorang sering dipengaruhi oleh tindakan orang di sekitarnya.
Terbukti jika kita melihat komentar di konten Tiktok atau Instagram yang terdapat banyak komentar positif maka akan sangat sedikit yang mengkritik dan mengejeknya. Sebaliknya, jika sebuah konten mayoritas berisi komentar negatif, hampir dipastikan kita akan menjumpai lebih banyak komentar negatif di konten tersebut.
Hal ini terjadi karena mereka merasa bahwa aman untuk berkomentar negatif tanpa adanya penolakan sehingga dengan leluasa melancarkan aksinya. Pada dasarnya, kejahatan itu menular, orang-orang yang semula tidak memiliki niatan jahat akhirnya menormalisasi dan meniru kejahatan tersebut jika tidak memiliki prinsip yang kuat dalam diri mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H