Mohon tunggu...
Audy Citra dan Nabila P Celo
Audy Citra dan Nabila P Celo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Lampung

Hallo teman-teman, terimakasih telah mengunjungi profile kami. Kami merupakan seorang Mahasiswa dari Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kepemimpinan Otokratis Soeharto: Transformasi Ekonomi Indonesia dan Implikasinya

17 April 2024   21:22 Diperbarui: 18 April 2024   00:01 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Soeharto merupakan salah satu tokoh yang pernah memimpin masyarakat Indonesia tepatnya pada tahun 1968 setelah sebelumnya menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera di tahun 1966 dan MPRS mengangkat beliau menjadi Pejabat Presiden pada tahun 1967. Soeharto dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1921 oleh pasangan Kertosudiro dan Sukirah. Soeharto terlahir dari keluarga yang sederhana, sehingga ia kerap kali dititipkan ke saudara orangtuanya. 

Saat tinggal bersama paman dan bibinya, Soekarno sangat senang acapkali pamannya mengajaknya ke sawah oleh karena itu perlahan-lahan ia mengerti dunia pertanian. Soeharto merupakan presiden yang paling lama menjabat, yaitu sebanyak 32 tahun. Sebelum beliau memulai karir politiknya, Soeharto menjadi salah satu anggota dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Soeharto turut berjasa dalam beberapa peristiwa penting angkatan bersenjata seperti saat peristiwa serangan umum 1 Maret 1949, penjemputan Jenderal Soedirman dari lokasi Gerilya, serta penangkapan Jenderal Sudarsono yang turut serta terlibat dalam penculikan Perdana Menteri Syahrir. Masa jabatan Soeharto sebagai Presiden ke-2 Republik Indonesia berakhir pada tahun 1998 setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei di tahun tersebut.

Era pemerintahan Soeharto banyak menuai kritikan dari masyarakat karena dinilai otoriter yang mana motif kekuasaan pemimpin didasarkan pada kontrol atas orang lain. Pola hubungan tersebut menunjukkan tipe kepemimpinan neokarismatik yang mana menurut Weber, model kepemimpinan ini terpusat atas 2 pilar yaitu terdapat kebutuhan atau tujuan yang belum terpenuhi oleh realita yang ada di antara pengikutnya dan ketundukan terhadap pemimpin karena karisma yang ada pada pemimpin tersebut mengarahkan pada tujuan mereka. Sebagaimana diketahui, Indonesia kala itu dihadapkan dengan kondisi konflik perpolitikan yang tajam pasca lengsernya kepemimpinan Presiden Soekarno oleh karenanya masyarakat memerlukan pemimpin yang mampu memutuskan kebijakan dengan cepat dan tepat serta Soeharto juga terkenal sebagai pemimpin yang tegas karena mampu mengatasi berbagai permasalahan Negara-Negara Berkembang Anggota Gerakan Non-Blok, forum Kelompok Negara ASEAN, APEC dan lainnya (Makiwawu, 2012: 221). Ketegasan tersebut merupakan daya tarik yang tidak dimiliki semua orang dan karisma pemimpin yang apa adanya tercermin dari latar belakangnya yang berasal dari keluarga sederhana, hal tersebut sejalan dengan karakteriatik kepemimpinan oleh Gunawan (2018).

Kepemimpinan karismatik memiliki dampak negatif sebagaimana yang dituturkan oleh Gunawan (2018) kepemimpinan karismatik harus menjaga karismanya dihadapan para pengikutnya yaitu masyarakat, karena karisma yang tidak konsisten akan berdampak negatif pada pemimpin itu sendiri. Pada kepemimpinan Presiden Soeharto tidak terlepas dari peranannya kala Peristiwa Gerakan 30 September yang digaungkan sebagai pahlawan serta banyak pujian yang diterima karena prestasi dalam pembangunan ekonomi dengan prestasi Indonesia sehingga mencapai swasembada pangan namum pada tahun 1965 Soeharto mulai memonopoli informasi seperti pelayangan dalam menerbitkan surat kabar kecuali Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha dan pengendalian terhadap penulisan sejarah serta dinilai membatasi kebebasan sipil seperti kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi bagi masyarakat, juga korupsi dan nepotisme di kalangan pemerintahan serta pelanggaran hak asasi manusia sehingga membuat stigma negatif masyarakat yang kerap kali mendapat kritik oleh masyarakat.

Setiap pemimpin tentu akan melaksanakan tugasnya dengan gaya kepemimpinannya masing-masing. Menurut Besse Matayang (2019), gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan pemimpin untuk menjalankan fungsinya sebagai pemimpin dan fungsinya dalam managemen bawahannya. Ada berbagai macam gaya kepemimpinan menurut para ahli, diantaranya yaitu gaya kepemimpinan demokratis, birokratis, kebebasan (Laissez Faire), dan otokratis. Presiden Soeharto sendiri dalam menjalankan masa jabatannya sebagai presiden menggunakan gaya kepemimpinan orokratis/otoriter. Seperti ciri utama gaya kepemimpinan otoriter, Soeharto memusatkan dirinya sendiri sebagai tumpuan utama dalam pengambilan keputusan dan kebijakan. Semua kegiatan manajemen pemerintahan, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, hingga pengawasan dipegang sendiri oleh dirinya. Terdapat banyak kebijakan sebagai bentuk bukti nyata adanya gaya kepemimpinan otoriter dari Soeharto, diantaranya yaitu pembatasan terhadap penyampaian pendapat, pengawasan ketat terhadap pers, penghapusan partai politik yang menurutnya memiliki kesamaan program, dan adanya kebijakan dwifungsi ABRI yang menyebabkan militer memiliki banyak peranan dalam sektor sosial politik Indonesia.

Sampai saat ini, gaya kepemimpinan otoriter masih dianggap sebagai gaya kepemimpinan buruk bagi sebagian orang. Kebanyakan dari mereka menilai bahwa pemimpin dengan gaya kepemimpinan ini cenderung akan menyengsarakan anggotanya. Begitu juga dengan kondisi masyarakat Indonesia pada saat masa pemerintahan Soeharto. Masyarakat banyak yang berasumsi bahwa pemerintahan Soeharto merupakan pemerintahan yang buruk, sehingga banyak rezim yang ingin menggulingkan masa kepemimpinan Soeharto pada saat itu. Sebut saja misalnya gerakan reformasi pada tahun 1998 yang dipelopori oleh para mahasiswa dan aktor-aktor cendekiawan seperti Amien Rais yang memperjuangkan berakhirnya kepemimpinan otoriter. Pada saat itu, sekitar 15.000 mahasiswa dari 54 kampus berbeda berkumpul di Gedung DPR/MPR RI guna melaksanakan aksi demonstrasi besar-besaran. Aksi tersebut bertujuan untuk menuntut agar Soeharto mengundurkan diri dari bangku kepresidenan. Gerakan tersebut seolah menjadi salah satu bukti sejarah bahwa masyarakat Indonesia masih menganggap tabu gaya kepemimpinan otoriter. Bukan suatu asumsi yang salah, masyarakat Indonesia tentu tidak mengizinkan adanya kepemimpinan otoriter di negara demokratis seperti Indonesia ini. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kepemimpinan otoriter Soeharto tersebut justru memberikan banyak dampak positif di berbagai sektor, salah satunya yaitu sektor ekonomi.

Selama masa jabatannya yang lebih dari tiga dekade, Soeharto berhasil mewujudkan transformasi ekonomi bagi Indonesia. Dengan kepemimpinannya yang dinilai otoriter tersebut, justru Soeharto berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara pesat. Beliau meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cara mengundang investor asing untuk masuk ke Indonesia. Semakin banyak dana dari pihak asing yang masuk ke Indonesia, maka pendapatan negara semakin banyak juga sehingga dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur negara. Pembangunan ekonomi yang dilakukan Soeharto tersebut mengalami puncak kejayaannya pada tahun 1996. Keberhasilan tersebut ditandai dengan beberapa hal, antara lain yaitu keberhasilan Soekarno dalam mengendalikan inflasi. Indonesia memang kerap kali mengalami inflasi, puncak tertingginya yaitu pada tahun 1965 yang pada saat itu inflasi di Indonesia mencapai 600%. Tak hanya terkendalinya inflasi, pertumbuhan ekonomi di Era Soeharto juga ditandai dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dilansir dari Tirto.Id, Pertumbuhan ekonomi pada tahun 1968 melambung hingga 10,91%. Pertumbuhan tersebut merupakan pencapaian yang luar biasa di masa satu tahun jabatannya. Implikasi nyata dari keberhasilan Soeharto dalam perbaikan sektor ekonomi Indonesia lainnya yaitu penurunan angka kemiskinan, peningkatan jumlah ekspor, dan semakin banyaknya investasi. Keberhasilan-keberhasilan yang diraih oleh Soeharto di bidang ekonomi tersebut membuat Indonesia dianugerahi FAO penghargaan karena berhasil mencapai swasembada pangan dan dinilai oleh bank dunia bahwa Indonesia merupakan Macan Asia. Namun, dibalik banyak dampak positif yang dihasilkan dari gaya kepemimpinan otoriternya. Soeharto tetap memiliki noktah dosa masa lalu akibat otokratismenya. Pada masa kepemimpinannya, banyak terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dinilai bertentangan dengan pemikirannya, hingga penyalahgunaan wewenang yang disebabkan adanya dugaan praktik korupsi karena menjadikan militer sebagai sumber pemasukan bagi dirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun