Mohon tunggu...
Nabilatuz Zahroh Al Hafidzoh
Nabilatuz Zahroh Al Hafidzoh Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswi Universitas Islam Malang

الصبر مفتاح الفلاح

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Candi Jago Sebagai Warisan Budaya Hinddu-Budha dari Kerajaan Singhasari

18 Januari 2025   15:02 Diperbarui: 18 Januari 2025   15:15 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Relief-Relief Candi Jago

Sejarah dan Latar Belakang Pembangunan Candi Jago Pada Masa Kerajaan Singhasari

Berdasarkan Kitab Negarakertagama dan Pararaton, pembangunan Candi Jago ini atas perintah Raja Kertanagara, raja terakhir dari Kerajaan Singhasari, untuk menghormati ayahandanya, Sri Jaya Wisnuwardhana. Pembangunan candi ini dimulai pada tahun 1268 M, tepat setelah wafatnya Raja Wisnuwardhana, dan selesai pada tahun 1280 M. Walaupun dibangun pada masa Kerajaan Singhasari, keberadaan Candi Jago juga tetap penting pada era Kerajaan Majapahit. Raja Hayam Wuruk, seperti yang tercatat dalam kitab tersebut, kerap mengunjungi candi ini pada tahun 1359 M, menunjukkan bahwa Candi Jago memiliki nilai spiritual dan simbolis yang berkelanjutan lintas generasi. Candi Jago memiliki ciri khas yang mencerminkan gaya seni Kerajaan Singhasari. Salah satu ciri khas yang mencolok adalah ukiran berbentuk padma (teratai) yang tumbuh menjulang dari bonggolnya, yang menghiasi  dasar arca di Candi ini. Motif teratai ini memiliki makna simbolis yang penting dalam tradisi hindu budha dan sangat populer pada era Singhasari. Padma melambangkan kesucian, penciptaan, dan kosmologi, yang erat kaitannya dengan fungsi spiritual candi.

Candi Jago mulai dikenal secara luas setelah dipublikasikan oleh Stamford Raffles dalam bukunya History of Java yang diterbitkan pada tahun 1817. Namun, informasi tentang siapa penemu pertama Candi Jago masih belum jelas. Sebelumnya, sejumlah peneliti juga telah mempelajari candi ini. Penelitian yang lebih rinci dilakukan oleh J.L.A. Brandes, yang kemudian mempublikasikan karyanya berjudul Jago Monografi pada tahun 1904. Penelitian ini menjadi rujukan penting dalam studi arkeologi dan sejarah Candi Jago. Salah satu aspek penting dalam sejarah Candi Jago adalah tradisi pemugaran yang dilakukan oleh raja-raja penerus terhadap bangunan yang didirikan pendahulunya. Pada tahun 1343 M, Candi Jago mengalami pemugaran besar yang diperintahkan oleh Adityawarman, penguasa Melayu yang memiliki hubungan darah dengan Raja Hayam Wuruk. Pemugaran ini bukan hanya untuk menjaga keutuhan struktur candi, tetapi juga untuk memperkuat nilai spiritualnya sebagai pusat keagamaan.

Selain memugar, Adityawarman juga membangun candi tambahan dan menempatkan Arca Manjusri di area tersebut. Arca ini merupakan representasi dari kebijaksanaan tertinggi dalam ajaran Buddha Mahayana. Informasi tentang penempatan Arca Manjusri di Candi Jago ditemukan dalam Prasasti Manjusri. Saat ini, arca tersebut disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor inventaris D.214.  Candi Jago tidak hanya menjadi monumen penghormatan bagi Raja Wisnuwardhana, tetapi juga mencerminkan kesinambungan tradisi spiritual dan seni lintas masa, dari Singhasari hingga Majapahit. Keberadaannya sebagai situs penting diakui tidak hanya dalam konteks sejarah lokal, tetapi juga dalam penelitian arkeologi internasional. Tradisi pemugaran dan penambahan elemen baru oleh Adityawarman menunjukkan peran Candi Jago yang terus berkembang sesuai kebutuhan spiritual dan politik pada masanya. Dengan relief yang kaya, arsitektur yang mencerminkan gaya khas Singhasari, dan sejarah panjang pemugaran, Candi Jago menjadi salah satu simbol penting dari warisan budaya dan spiritual di Jawa Timur. Pelestarian candi ini merupakan langkah penting untuk menjaga jejak sejarah masa lalu yang kaya akan makna. 

Struktur Candi Jago

Candi Jago memiliki struktur teras yang menyerupai punden berundak, suatu bentuk arsitektur khas zaman megalitik di Nusantara. Candi ini memiliki dimensi panjang 23,71 meter, lebar 14 meter, dan tinggi 9,97 meter. Sayangnya, struktur bangunannya kini tidak lagi lengkap. Hanya bagian kaki dan sebagian kecil badan candi yang tersisa, sedangkan atap dan sebagian besar badan candi telah rusak atau hilang. Tubuh candi didukung oleh tiga tingkat teras, dengan teras ketiga berfungsi sebagai tempat berdirinya badan candi. Pada bagian depan teras, terdapat struktur menjorok keluar. Atap candi yang kini hilang diperkirakan berbentuk seperti Meru (gunung bertingkat) atau pagoda, meskipun bentuk aslinya tidak diketahui secara pasti.

Pada bagian kaki candi dihiasi oleh beragam relief cerita yang mengisahkan  kisah-kisah epik dan fabel. Untuk membaca kisah pada relief, pengunjung harus berjalan searah jarum jam (pradaksina) mengelilingi candi. Relief-relief yang dipahat di dinding luar kaki candi meliputi:

  • Kresnayana : Kisah tentang kehidupan Kresna.
  • Parthayana : Perjalanan hidup para Pandawa.
  • Arjunawiwaha : Menceritakan pernikahan Arjuna dengan Dewi Suprabha.
  • Kunjarakharna : Kisah dedaktif dari ajaran Buddha tentang Yaksa Kunjarakarna.
  • Anglingdharma : Hikayat Angling Dharma.
  • Fabel :  Cerita binatang dengan pesan moral.

Di sisi barat laut, terdapat relief yang mengisahkan awal cerita fabel, seperti cerita Tantri, yang disusun dalam beberapa panel. Salah satu relief fabel terkenal di bagian depan candi adalah kisah dua kura-kura dan seekor angsa. Dalam cerita ini, kura-kura diterbangkan oleh angsa menggunakan kayu yang digigitnya. Ketika kura-kura mengejek sekumpulan serigala, ia membuka mulutnya sehingga terjatuh dan dimakan serigala. Kisah ini memberikan pesan moral tentang pentingnya tidak mudah tergoda atau terprovokasi oleh ejekan orang lain. Di sudut timur laut,  terdapat kisah dari ajaran Buddha, yakni cerita Kunjarakarna, yang berkisah tentang Yaksa Kunjarakarna. Ia menghadap Dewa Wairocana untuk mempelajari ajaran Buddha. Dalam kisah ini, Kunjarakarna berhasil mewujudkan keinginannya untuk berubah menjadi manusia dengan menaati ajaran Buddha.

Relief pada badan candi lebih sedikit dibandingkan pada kaki candi. Salah satu relief yang menonjol adalah adegan Kalayawana, bagian dari cerita Kresnayana. Adegan ini menggambarkan peperangan antara Raja Kalayawana dan Kresna. Di teras ketiga, terdapat relief yang menggambarkan kisah Arjunawiwaha, yaitu pernikahan antara Arjuna dan Dewi Suprabha. Upacara pernikahan ini diberikan oleh Bhatara Guru sebagai bentuk penghargaan atas keberhasilan Arjuna menaklukkan raksasa Niwatakawaca. Namun, bagian atap Candi kini sudah tidak terlihat lagi. Berdasarkan dugaan, atap tersebut kemungkinan terbuat dari bahan seperti kayu atau ijuk. Bentuknya yang asli juga belum diketahui secara pasti, tetapi para ahli menduga atap tersebut menyerupai struktur bertingkat seperti Meru atau pagoda. Relief-relief pada Candi Jago tidak hanya menggambarkan kisah-kisah epik atau mitologi, tetapi juga menyisipkan pesan moral dan nilai ajaran agama Hindu-Buddha, seperti nasihat untuk bersikap bijak, pantang menyerah, serta pentingnya kesetiaan pada ajaran spiritual.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun