Indonesia merupakan negara dengan produksi sampah makanan terbanyak di Asia Tenggara dengan total sampah makanan mencapai 20,93 juta ton tiap tahunnya dan setiap orang di Indonesia menghasilkan sekitar 300 kg limbah makanan pertahunnya. Limbah makanan yang tidak termanfaatkan secara efektif dapat menyebabkan masalah lingkungan yang serius, seperti peningkatan emisi gas rumah kaca dan pencemaran air tanah. Namun, limbah makanan juga memiliki potensi yang belum termanfaatkan secara optimal sebagai sumber energi alternatif. Berbagai teknologi telah dikembangkan untuk mengolah limbah makanan menjadi energi yang dapat digunakan, termasuk biogas, listrik, dan bahan bakar cair. Pemanfaatan energi dari limbah makanan juga dapat membantu mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil yang terbatas dan tidak ramah lingkungan. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa co-production bioetanol dan biometana dapat meningkatkan potensi produksi energi dari limbah makanan. Oleh karena itu, pengembangan teknologi dan kebijakan yang mendukung pemanfaatan energi dari limbah makanan penting untuk memastikan penggunaannya secara efektif dan berkelanjutan.
 Limbah makanan memiliki dampak yang dapat merugikan atau mengganggu kehidupan manusia. Kandungan organik yang tinggi pada limbah makanan membutuhkan pengelolaan yang cepat. Saat masuk ke TPA, sampah akan meningkatkan emisi metana yang termasuk dalam gas rumah kaca.  Biometana dapat dianggap sebagai model referensi untuk bioekonomi yang dapat diikuti secara berkelanjutan. Penggunaan substrat seperti limbah pertanian, limbah organik domestik kota, dan sebagainya dapat memungkinkan perpindahan penggunaan bahan bakar fosil atau sumber daya tak terbarukan menjadi sumber daya biologis yang lebih mudah untuk diperbarukan.
Energi berupa bioetanol dan biometana didapatkan melalui proses fermentasi. Bioetanol didapatkan melalui proses fermentasi limbah makanan yang ditambah ragi dan dilakukan pada suhu 35 selama 5 hari. Bioetanol yang dihasilkan tanpa pengolahan (treatment) sebelum dilakukan fermentasi ini nyatanya sebanding dengan limbah makanan yang mengalami pre-treatment (detoksifikasi, biaya bahan kimia, dan lainnya). Oleh karena itu, pembuatan bioetanol dari limbah makanan tanpa pengolahan ini lebih hemat biaya.
Biometana didapatkan melalui proses fermentasi sisa bahan organik padat dari pembuatan bioetanol sebelumya. Sisa bahan padat tersebut kemudian dicampurkan dengan lumpur dari peternakan babi dan dilakukan pada suhu 35 selama 80 hari. Biometana yang dihasilkan dari sisa bahan pembuatan bioetanol ini cukup tinggi karena mengalami dua tahap fermentasi. Pengubahan limbah makanan menjadi etanol selama proses fermentasi dengan pH dan suhu yang konstan dapat meningkatkan produksi biometana. Adanya etanol selama proses tersebut dapat meningkatkan produksi metana sebesar 35-126%.
Produksi bersama (co-production) bioetanol dan biometana dapat meningkatkan hasil energi total produksi energi dari limbah makanan  melalui proses biologi. Jadi, limbahan makanan pertama kali difermentasi untuk mendapatkan etanol dan sisa bahan padat fermentasinya digunakan untuk menghasilkan biometana. Didapatkan bioetanol sebanyak 318 liter dan biometana sebanyak 80 m3 atau setara dengan 299 liter bensin. Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa co-production bioetanol dan biometana dapat meningkatkan pengahsilan energi sekitar 1,4 kali daripada bioetanol saja dan sekitar 4 kali lebih besar jika dibandingkan produksi biometana sendiri.
Di Indonesia, limbah makanan biasanya dihasilkan dalam bentuk food loss dari pengolahan makanan industri dan limbah yang dihasilkan dari aktivitas manusia ketika konsumsi produk yang dapat dimakan. Hal tersebut dapat berpotensi sebagai sumber daya yang memiliki kesempatan luas dalam pengembangan bioetanol untuk menggantikan sumber energi fosil yang semakin sedikit. Produksi bioetanol sudah mulai dilakukan dari berbagai bahan baku seperti ampas tebu, singkong, kentang dan sebagainya. Pemerintah juga terus mendorong peningkatan potensi pasar biometana. Beberapa diantara yang tengah diupayakan adalah pemanfaatan biometana di PLTD milik PLN, substitusi bahan bakar gas di hotel, restoran, dan caf.
Penulis: Nabila Erma dan Fiqha Azkiya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H