Mohon tunggu...
Asagift
Asagift Mohon Tunggu... Penulis - Guru

Ini adalah cara saya mengingat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Bawah Langit yang Sama

23 April 2019   18:04 Diperbarui: 23 April 2019   18:18 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah ini dimulai sejak kami duduk di bangku kelas satu SMA. Kebiasaanku menunggu bus yang datang di sore hari untuk membawaku pulang menjadi awal manis peristiwa ini. Derai hujan yang biasa tak kusukai saat masih kecil, sejak itu sangat kusukai. Menunggu  menjadi hal yang  tidak membosankan. Bahkan, sejak itu aku hanya ingin menunggu. Tak apa, hanya menunggu kok. Menunggu pria yang ku harapkan dalam kehidupanku meski harus menatapnya dari jauh.

Aku Lani. Pendiam tetapi ekstrovert. Sesungguhnya aku tidak benar-benar pendiam, hanya saja sejak peristiwa itu aku lebih sering diam apabila ditanya perihal seseorang yang sering membuatku berharap jauh. Aku ekstrovert, buktinya banyak temanku yang mengenalku, aku juga menjabat sebagai wakil ketua kelas SMA 3 Wanita kota tercinta ini. Meskipun sekelas perempuan semua, tetapi aku juga memiliki banyak teman lelaki, salah satunya Lana, teman samping rumahku.

Di sekolah, aku sering mendapat sebutan 'biro jodoh kelas kakap' karena seringkali sukses membawa sepasang temanku berkenalan dan akhirnya menjalin kasih dengan waktu yang cukup lama.

Sebenarnya aku tidak pernah mengenalkan satu per satu teman seperti antri beras macam di pasar, melainkan mencocokan karakter seseorang A dengan B. Aku mewarisi sifat itu sejak kecil. Aku akui sendiri memang seperti itu. Banyak orang mengatakan jika seseorang sukses menyukseskan orang lain, biasanya dia sulit menyukseskan dirinya sendiri. Benarkah ? Mungkin inilah yang terjadi padaku.

Aku menyukai salah seorang temanku sejak SMP. Dia teman Lana. Sudah cukup lama bukan. Dia juga mengenalku dan terkadang kami sering tak sengaja menatap bersama. Akan tetapi, ketika aku sadar mataku bertatapan, aku selalu sengaja mengalihkan tatapan itu, berpura-pura tak melihatnya. Dulu kami pernah sekelas, aku mengirim surat berisi puisi alam, tetapi tak kutulis siapa pengirimnya, entah, hingga sekarang aku pun tak tahu kabar surat itu.

Berawal rasa kagum dan gila saat itu ditambah  keseringan kami bersama dalam sebuah kelompok belajar membuat intensitas pertemuan pun semakin rutin. Bahkan pernah pada sebuah kesempatan, kami ada di dalam sebuah angkot bersama untuk pulang, dia menyapaku untuk pertama kalinya. Mataku berbinar.

Namun rasa itu tak berlangsung lama. Rasa itu berubah menjadi sebuah tamparan keras yang mendarat di pipiku saat itu. Teman perempuanku, sebut saja dia Nana menyatakan perasaannya pada pujaanku itu. Bahkan pernyataan itu dilakukan secara terang-terangan di kelas dan tak terencana. Sangat hebat menurutku. Saat itu aku hanya bisa diam, tak bisa marah. Betapa pasifnya aku.

Pertemuan kami semenjak itu semakin hilang tergerus zaman. Kami baru bertemu kembali saat SMA. Aku yang menjadi wakil ketua kelas saat itu harus mengikuti sebuah acara 'gathering' macam sosialita-sosialita papan atas selama tiga hari dua malam. Sementara  dia juga mengikuti acara ini dengan menjadi perwakilan kelasnya.

Saat itu temanku yang juga ketua kelasku ini, Rika menghampiriku. Saat itu kami akan makan malam. Rika bercerita panjang lebar tentang masa lalunya hingga pada suatu ketika pembahasan dia ini sudah merambah luar nalarku. Rika menyukai seseorang di hadapanku yang juga pernah kusukai sejak SMP itu. Karena kepiawaianku mencomblangkan itu dia memintaku untuk melakukannya. Aku hanya diam.

Sejak saat itu pribadi yang biasa membuat rumah berantakan  kapanpun ini berubah menjadi seorang titisan patung dan lukisan Monalisa. Hanya bisa terima. Aku yang sebelumnya seringkali memprotes jawaban seseorang dan memarahinya, kini tidak pernah lagi. Ibu dan Ayahku pun pernah menanyakan itu. Jawabku hanya tidak apa-apa sambil tersenyum tiga sentimenter.

Di keesokan harinya, aku tidak bisa berkata banyak setiap kali bertemu Rika. Akan tetapi aku tetap mengusahakannya. Ya, aku tetap berusaha untuknya secara cuma-cuma. Hingga pada suatu saat, ketika aku menunggu bus untuk pulang ke rumah, saat itu... Ya, saat itu turun hujan. Pukul lima lebih lima belas sore. Ya, aku mengingatnya.

Sore itu menjadi sore kegelapan pikirku. Sudah pulang telat, bus belum datang, hujan pula. Oiya, aku juga lupa tidak membawa jaket yang biasa kubawa hari itu. Hujan pun semakin deras, sepatuku semakin basah. Samar-samar ku melihat di depan arahku, seseorang yang juga sedang berteduh sepertiku. Seorang lelaki yang tak asing bagiku. Bukan Lana.

"Aku melihatmu , apa kau melihatku disini?" batinku membeku. Dia menatap padaku pula. Tatapan ini mengingatkanku pada tatapan kami ketika masih SMP dahulu. Tatapan itu jelas masih sama. Mataku berbinar. Semenit kemudian setelah itu, bus dari arahku pun datang. Tatapan kami terhenti. Aku juga bergegas masuk bus agar basah kuyupku tak tambah parah.

Pertemuan itu menjadi pertemuan pertama dan terakhir kami di SMA karena dia hijrah sekolah ke kota lain sementara aku masih disini. Ya, masih disini dengan rasa penasaranku ini.

Lima belas tahun setelahnya, kami bertemu kembali di langit yang sama. Langit reuni SMP. Langit kelas dua kami yang kini semakin kokoh. Kami tepat berpapasan ketika aku sedang bersama Lana melihat lukisan lucu tempo dulu. Dia juga ingin masuk melihatnya. Dia tersenyum, aku pun tersenyum. Senyumku pun memudar seketika melihat seorang wanita cantik di sampingnya, Nana. Kami berempat pun duduk bersama, membicarakan kenangan masa lalu. 

Kini, diriku tampak lebih anggun dan sabar, lebih ikhlas jika mendengar sesuatu yang tak enak didengar nantinya, terutama antara dia dan Nana. Kami bercanda hingga larut malam.

Hingga pada akhirnya, Lana izin pulang kemudian disusul Nana. Nana? Iya tetapi, kenapa "dia" tidak ikut pulang?

"Jadi bagaimana?" tanyanya setelah kami tertawa berdua.

"Hah bagaimana apanya?" jawabku gurau

"Hm, apa.. kau sudah berkeluarga?" tanyanya serius menatapku.

Pertanyaanya membuat kondisiku kembali sulit. Aku diam sejenak, berpikir apa yang akan kukatakan.

"Oh.., belum, kalau kau?" jawabku dengan santai. Sungguh, aku tak ingin mendengar jawabannya.

"Hm, belum juga," jawabnya dengan santai pula. Sedetik kemudian, aku melihat dia menangis tersenyum. Sama sepertiku. Aku pun menangis. Dia menengadahiku.

"Lana..," panggilnya dengan pelan.

"Ya?" jawabku dengan muka sembab.

"Maukah kamu menikah denganku?" tanyanya yang membuat hatiku langsung mengiyakannya.Diriku mencair mencari muaranya.

Sebuah mukjizat. Di bawah langit yang sama, kita bersabar dalam merajut apa yang hendak kami rajut. Seketika diriku berpikir. 

Jika banyak dari kita yang memilih hidup harus berdampingan dengan orang yang dicintai, aku tidak setuju. Aku tidak bisa memaksakannya. Garis hidup telah ditulis sedemikian rupa, tinggal jalani saja.


~Arief dan Lani

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun