Malaria merupakan jenis penyakit yang menular secara massal. Malaria disebabkan karena adanya infeksi parasit yang dapat menular kepada manusia melalui gigitan nyamuk. Penyakit malaria banyak terjadi di daerah tropis, khususnya pedesaan.
Malaria ditemukan hampir di seluruh belahan dunia, terutama di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis. Penduduk yang beresiko terkena malaria berjumlah sekitar 2,3 miliar atau 41% dari populasi di dunia.
Foster dan Anderson (tahun 1978) dalam bukunya 'Medical Antropology' yang diterjemahkan oleh Priyanti Pakan Suryadarma, Meutia F, Hatta Swasono, (1986) menyebutkan bahwa para ahli antropologi kesehatan yang dari definisinya disebutkan berorientasi ke ekologi, menaruh perhatian pada hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan alamnya, tingkah laku penyakit-penyakitnya dan cara dimana tingkah laku penyakit mempengaruhi evolusi kebudayaan melalui proses umpan balik.
Laporan pertama kasus malaria di Indonesia pada masa Hindia-Belanda berasal dari tentara Belanda. Ia menyebutkan adanya wabah di Cirebon pada 1852-1854. Pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan pemberantasan pada tahun 1911, namun pada kenyataannya baru dapat dilaksanakan tahun 1914.
Persepsi Masyarakat
Persepsi masyarakat mengenai suatu penyakit berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Persepsi yang timbul tergantung dengan budaya yang berkembang pada daerah tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlawanan dengan ilmu kesehatan masih terjadi di masyarakat.
Sebelum ditemukan penyebab ilmiah, malaria biasanya dihubungkan dengan kutukan tuhan atau pembalasan iblis. Mitologi Cina menggambarkan tiga iblis, yang satu membawa palu, yang lain membawa ember berisi air dingin, dan yang lain membawa tungku api. Mereka melambangkan kelainan sakit kepala, menggigil, dan demam.
Selain penduduk Cina, penduduk Belanda di Batavia juga menyebut penyakit ini sebagai kutukan dan gangguan roh jahat seperti kesurupan.
Persepsi yang lain yaitu ketika penyakit malaria diobati dengan getah dari batang pohon kina yang sebenarnya beracun. Pada sebagian penduduk di Pulau Jawa,penderita panas yang sangat tinggi akan disiram air pada waktu malam hari.
Di lain hal, air putih yang telah diberikan ramuan serta mantra oleh dukun dan pemuka masyarakat diyakini dapat menyembuhkan penyakit malaria.
Persepsi masyarakat yang ada tersebut diperoleh dan didapat melalui penuturan secara turun temurun. Misalnya penyakit yang berupa kutukan dari Tuhan, makhluh gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman beracun, bianatang buas dan lain-lain.
Penanganan Malaria Era Kolonial
Menyadari bahwa penyakit malaria telah menjadi ancaman kesehatan rakyat di beberapa wilayah, maka pada tahun 1911, jawatan kesehatan sipil didirikan sebagai bentuk upaya penyelidikan dan pemberantasan penyakit malaria.
Pada tahun 1924, Biro Malaria Pusat didirikan. Pada tahun 1929, Biro Malaria Pusat mendirikan cabang di Surabaya, dengan fokus pelayanan di bagian timur. Sedangkan untuk wilayah Sumatera, pelayanan dilakukan oleh cabang Medan.
Dalam upaya pemberantasan, para mantri ditugaskan untuk menentukan jenis nyamuk dan jentik, menentukan persediaan darah, mengadakan pembedahan lambung nyamuk, serta membuat peta wilayah.
Pemberantasan penyakit malaria juga dilakukan dengan berbagai cara, antara lain pembunuhan dan pencegahan perkembangan jentik di sarang-sarang, pembunuhan nyamuk dewasa dengan asap, obat nyamuk, dsb.
Pemberantasan malaria di pantai dapat dilakukan dengan cara Species-assaneering, yaitu:
1) Membuat tanggul sepanjang garis pantai. Tinggi taggul dibuat melebihi tinggi air laut saat pasang, begitu juga pada tanah di belakang tanggul. 2) Membuat sebuah saluran. Saluran ini dibuat mulai dari muara sungai sampai melewati batas pemecah gelombang air laut. 3) Membuat pembagian kinine, penggunaan kelambu atau alat pembunuh nyamuk, pemberian minyak tanah di sarang nyamuk, penempatan kandang kerbau di antara rumah tinggal dan sarang nyamuk, serta pemeliharaan tambak secara higienis.
Selain upaya-upaya tersebut, pada tahun 1924 pemerintah Hindia Belanda membentuk Dinas Higiene. Pada tahun 1933 dimulai organisasi kebersihan tersendiri, dalam bentuk Percontohan Dinas Kesehatan Kabupaten di Purwokerto.
Selain upaya pendirian dinas tersebut, terdapat pula upaya kuratif yang dilakukan dengan pendirian rumah sakit. Tahun 1925 di kota Banyumas didirikan rumah sakit yang diberi nama Rumah Sakit Juliana. Pada perkembangan selanjutnya, usaha yang semula ditekankan pada usaha kuratif lambat laun berkembang ke arah preventif.
Pada tahun 1937 sampai meletusnya Perang Dunia II, pemerintah pusat menyerahkan usaha kuratif kepada daerah otonom, namun tetap diawasi dan di koordinir oleh Pemerintah Pusat.
SUMBER BACAAN
Ningsi, Hayani Anastasia, dkk. 2010. Aspek Sosial Budaya Masyarakat Berkaitan Dengan Kejadian Malaria di Desa Sidoan Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah. Vol. XX Tahun 2010 (hal. 30-31)
Andi Arsunan Arsin. 2012. Malaria di Indonesia: Tinjauan Aspek Epidemologi. Makassar: Penerbit Masagena Press (hal. 17-22)
Sunanti Zalbawi Soejoeti. 1995. Persepsi Masyarakat Mengenai Penyakit Malaria Hubungannya Dengan Kebudayaan dan Perubahan Lingkungan. Media Litbangkes Vol. V No.02/1995 (hal. 12-14)
KOMPASIANA. 2012. Sejarah Penanganan Malaria Sejak Kolonial-Orba (online), diambil dari www.kompasiana.com, diakses tanggal 17 Maret 2020, pukul 18.30 WIB
Nabila Putri
Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlangga. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H