Kesehatan mental merupakan aspek yang kini menjadi perhatian serius dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada kalangan muda, khususnya Gen Z. Gen Z yang merupakan generasi yang lahir antara tahun 1997-2012, kini sedang menghadapi tantangan besar mengenai kesehatan mental mereka. Dengan adanya tekanan sosial, ekonomi, dan digital yang sangat tinggi, membuat generasi ini cenderung rawan mengalami berbagai gangguan mental seperti; kecemasan, depresi, hingga stress pasca-trauma. Kondisi ini berujung pada kebutuhan yang serius dan mendesak terhadap adanya intervensi medis dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk tenaga medis. Dokter yang merupakan garda terdepan dalam pelayanan kesehatan, memegang peranan krusial dalam menangani krisis kesehatan mental di kalangan Gen Z. Pada artikel ini, akan membahas mengenai bagaimana keberadaan dokter dapat berkontribusi dalam mengatasi krisis ini melalui pendekatan medis, psikologis, dan kolaboratif. Kesehatan mental Gen Z, kini sedang dihadapi berbagai tantangan yang kompleks. Salah satu faktor yang menjadi pemicu hal tersebut adalah adanya tekanan sosial dan akademik yang tinggi. Kemudian adanya ketidakpastian ekonomi, seperti sulitnya mendapat pekerjaan yang pasti dan stabil juga memperburuk kondisi kesehatan mental Gen Z (Kessler et al., 2005). Di sisi lain, keberadaan media sosial yang memapar secara konstan juga ikut berkontribusi pada meningkatnya perasaan kecemasan, depresi, dan rasa tidak puas pada diri sendiri. Berdasarkan penelitian, menunjukan bahwa 91% kalangan Gen Z menghabiskan lebih dari 5 jam sehari dalam bermedia sosial, yang kemudian memberikan dampak signifikan pada cara mereka memandang serta menilai diri sendiri dan lingkungan sekitarnya (Twenge, 2019). Stres digital yang terus menerus, kemudian ditambah dengan ketidakpastian ekonomi dan global, akhirnya menciptakan kerawanan terhadapan kesehatan mental mereka. Pada konteks ini, dokter perlu memahami kondisi psikologis yang dimiliki oleh pasien mereka, dan juga mampu mengidentifikasi tanda-tanda awal dari gangguan mental seperti kecemasan, depresi, dan stres berlebihan yang sering terselubung dalam keluhan-keluhan fisik. Keberadaan dokter memegang peran penting dalam mendeteksi dan menangani gangguan kesehatan mental. Sebagai profesional medis, dokter merupakan pihak pertama yang sering berinteraksi dengan pasien yang memiliki gejala fisik terkait gangguan mental. Keluhan-keluhan seperti sakit kepala, nyeri tubuh, dan insomnia merupakan tanda-tanda awal yang seringkali muncul dari gangguan kecemasan dan depresi (American Psychiatric Association, 2013). Dalam hal ini, wawancara medis yang cermat dan diagnosa yang akurat merupakan kunci dalam memberikan pengobatan dan penanganan yang sesuai. Sebagai penanganan, dokter dapat memberikan terapi farmakologis, seperti obat penenang dan antidepresan guna mengurangi gejala yang semakin parah. Selanjutnya, pasien juga perlu mendapatkan rujukan ke psikolog atau psikiater guna menjalani terapi kognitif perilaku atau cognitive behavioral therapy (CBT) atau konseling lebih lanjut (Kessler et al., 2005). Selain itu, dokter juga perlu menciptakan ruang interaksi yang mendukung agar pasien bisa merasa nyaman untuk berbicara mengenai kondisi kesehatan mental mereka. Sikap seperti empati, pengertian, dan komunikasi yang baik antara dokter dan pasien menjadi aspek penting dalam membangun kepercayaan. Salah satu langkah efektif dalam menghadapi dan menangani krisis ini adalah adanya kolaborasi yang kuat antara dokter dan profesional kesehatan lainnya, seperti; psikolog, psikiater, dan konselor. Dengan adanya kolaborasi tersebut, memungkinkan adanya pendekatan kolaboratif yang mampu menangani krisis ini secara menyeluruh dengan menggabungkan pengobatan medis dengan terapi psikologis. Dalam kolaborasi ini, dokter dapat bekerja sama dengan psikolog dan profesional kesehatan mental lainnya dalam merancang rencana perawatan yang mencakup edukasi kepada pasien serta keluarga pasien juga. Edukasi tersebut sangat penting untuk mencegah dan mengatasi stigma buruk yang seringkali menjadi hambatan bagi Gen Z atau pasien dalam mencari bantuan. Kemudian lebih jauh lagi, peran dokter juga sangat penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental. Kampanye dan upaya penyuluhan yang ditujukan untuk mengurangi stigma terhadap masalah kesehatan mental ini sangat amat diperlukan, mengingat banyaknya Gen Z yang enggan mencari bantuan karena masih kentalnya stigma tersebut dalam masyarakat. Dokter dapat berkontribusi langsung dalam mengedukasi masyarakat dari berbagai macam platform, baik secara langsung di klinik dan rumah sakit, atau melalui platform sosial media dan media digital lainnya. Dengan menyampaikan pesan bahwa mencari bantuan merupakan suatu hal yang wajar dan sangat penting, dokter dapat memberi dorongan bagi kalangan muda khususnya Gen Z untuk bisa membuka diri dan mendapatkan perawatan yang dibutuhkan oleh mereka. upaya tersebut diharapkan bisa menciptakan perubahan besar dalam masyarakat, khususnya generasi muda dalam memandang pentingnya kesehatan mental. Lalu, dokter juga dapat menjadi konektor dalam sistem kesehatan mental yang komprehensif. Dalam praktiknya, peran tersebut melibatkan deteksi dini terhadap masalah kesehatan mental melalui pemeriksaan rutin yang terintegrasi dengan layanan kesehatan lainnya. Pemeriksaan tersebut mencakup evaluasi terhadap tingkat stres, kecemasan, atau depresi pada pasien yang datang untuk keluhan fisik. Dengan pendekatan tersebut, dokter dapat lebih cepat dalam mengidentifikasi adanya risiko gangguan mental yang kemudian dapat memberikan rujukan yang tepat pada pasien. Penanganan yang terintegrasi ini juga tidak hanya efektif untuk membantu pasien mendapatkan perawatan yang sesuai, tetapi juga untuk mencegah kemungkinan terburuk seperti kondisi mental yang lebih parah di waktu kemudian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H