“Model peraturan tenaga kerja saat ini sering lebih menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan, kaum muda, dan mereka yang bekerja paruh waktu dan pekerja independen,” BertHoffman, Ekonom Utama Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik.
31 Mei 2014, PT HM Sampoerna Tbk. memberhentikan kegiatan produksi pabrik SKT (Sigaret Kretek Tangan) di Jember dan Lumajang. 4.900 karyawan terpaksa berhenti. 4 bulan kemudian, PT Bentoel Internasional Investama Tbk. menawarkan 1000karyawannya pengunduran diri. Klimaksnya, 6 Oktober 2014, PT Gudang Garam Tbk., penopang 90% dari 70,77% perekonomian sektor industri Kota Kediri,memberlakukan pensiun dini karyawan masa kerja lebih dari 20 tahun. 2.088 karyawan mengajukan pensiun terhitung hingga 9 Oktober 2014. Alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pabrik rokok tak salah lagi,krisis keuangan. Hulu permasalahan karena ketatnya regulasi pemerintah, seperti pembatasan iklan,ketentuan kemasan, dan pembatasan kegiatan promosi.
Kaum perempuan karyawan SKT, merasakan imbas dari regulasi pemerintah yang berujung pada PHK. Pasca PHK, pekerjaan seadanya mereka jalani. Muncul mobilitas tak terkendali. Dari yang awalnya karyawan pabrik rokok berpindah ke sektor yang lain. Seperti berdagang kelontong, pembantu rumah tangga, karyawan di pabrik makanan, sales, buruh tani, dan pekerjaan lain yang tidak memerlukan keahlian khusus.
Namun, pendapatan saat ini tentu tidak sebanding dengan yang diperoleh saat menjadi karyawan pabrik rokok. Jika terus berlanjut, akan berpengaruh pada angka perekonomian negara bahkan kemiskinan. Menjadi tenaga kerja luar negeripun menjadi alternatif. Hal ini menambah rumit arah pergerakan mobilitas penduduk. Walaupun pendapatan yang diterima lebih besar, menjadi TKI tentunya menuai banyak risiko. Dengan keterbatasannya, perempuan bekerja di sektor informal. Hal ini mempersulit gerak perempuan pasca PHK untuk mencari pekerjaan lain. Tak sedikit pula yang berujung menganggur.
Pengangguran memang terasa seperti klimaks dari rentetan pekerjaan yang sudah diupayakan perempuan. Padahal, menambah pengangguran berarti mengurangi angka pendapatan. Mengurangi angka pendapatan terkait dengan pendapatan perkapita. Dari pendapatan tersebut tentunya ada penerimaan negara berupa pajak penghasilan. Jika pengangguran tinggi, dampaknya akan mengurangi pendapatan negara dan juga akan menghambat pembangunan negara. Hal ini akan semakin rumit lagikarena dampak pengangguran memengaruhi segala bidang perekonomian dan pembangunan Negara.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya negara kita memberlakukan kebijakan yang lebih memerhatikan perempuan. Tidak seperti kebijakan ketenagakerjaan saat ini yang belum mampu membantu sebagian besar tenaga kerja. Karena faktanya cenderung mengutamakan pekerja laki-laki dalam sektor formal dibanding perempuan. Seperti yang ada sekarang, perempuan memiliki kuota hanya 30% di bangku parlemen.
Pembuat kebijakan perlu fokus pada tindakan untuk mendorong inovasi serta mendukung ataupun membantu pendanaan usaha kecil dan menengah, yang memekerjakan perempuan di kawasan sekitarnya. Juga dibarengi usaha penyesuaian struktur pendidikan serta pelatihan peningkatan keterampilan teknis dan perilaku. Hal ini diharapkan agar mereka bisa menyesuaikan diri dengan permintaan ekonomi global sekaligus mengatasi kesenjangan keterampilan.
Dengan keterbatasan perempuan dalam bekerja diperlukan kebijakan perlindungan sosial. Saat ini, perlindungan sosial yang ada di Indonesia berupa asuransi kesehatan yangbiayanya bersumber dari masyarakat sendiri. Hal ini bahkan membuat masyarakat yang berekonomi minimum dan bekerja di sektor informal menjadi bimbang untuk mengikuti program perlindungan sosial yang ada. Pasalnya, beberapa kasus yang terjadi pada masyarakat yang tidak memiliki surat – surat lengkap, mereka sudah membayar dana asuransi tiap bulan namun saat pembayaran biaya berobat di rumah sakit, masih tetap dianggap sama dengan masyrakat lain yang tidak memiliki asuransi dan tidak mendapat keringanan biaya.
Sudah saatnya kita meninjau negara Thailand yang berhasil menerapkan kebijakan kesahatan universal. Program jaminan sosial ini menekan biaya bagi pasien dan mendorong peningkatan pemanfaatan layanan kesehatan. Dalam kebijakan Thailand, warga memeroleh jaminan kesehatan sejak mereka dilahirkan.
Senior Advisor-Health Financing Minister of Public Health Thailand, Viroj Tangcharoensathien mencontohkan, saat pekerja swasta mendadak dipecat dan menganggur, dalam waktu singkat dialihkan ke skema Universal Health Coverage (UHC).Di Thailand, UHC diterapkan sejak tahun 2011 bagi mereka yang bukan PNS dankaryawan swasta. Saat ini cakupan UHC di Thailand mencapai 99,8 %.Pembayaran iuran UHC berasal dari pemerintah. Konsep UHC, meningkatkan keadilan dalam berbagai dimensi, seperti penduduk yang kaya membayar pajak pendapatan dalam proporsi yang lebih besar. Hal ini berdampak pada penggunaan layanan kesehatan yang pro rakyat miskin, bukan dikuasai oleh orang kaya.
Di Indonesia sistem jaminan sosial masih belum terbangun dengan baik. Daya dukung IT dan infrastruktur yang baik penting bagi penerapan UHC. Hal ini memungkinkan untuk terkumpulnya data secara akurat dan tepat waktu. Direktur Jenderal WHO SEARO Samlee Plianbangchang mengatakan, “Hal yang tak boleh dilupakan dalam jaminan kesehatan ialah program preventif dan promotif kesehatan”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H