Tahun 2024 menjadi tahun penuh gejolak bagi dunia pendidikan Indonesia, khususnya terkait dengan kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN). Di awal tahun, rencana kenaikan UKT di sejumlah PTN menuai penolakan keras dari berbagai pihak, terutama mahasiswa. Aksi protes dan demonstrasi digelar di berbagai daerah, menyuarakan kekhawatiran akan semakin sulitnya akses pendidikan tinggi bagi kalangan kurang mampu.
Kebijakan yang Mengundang Kontroversi
Pada awal tahun 2024, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT). Aturan ini menjadi dasar bagi PTN untuk menyesuaikan UKT berdasarkan besaran SSBOPT yang baru.
Kenaikan UKT di sejumlah PTN bervariasi, dengan beberapa di antaranya mengalami kenaikan yang signifikan. Hal ini tentu saja memicu kekhawatiran bagi banyak pihak, terutama bagi keluarga mahasiswa yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Kekhawatiran ini diperparah dengan kondisi ekonomi yang masih belum sepenuhnya pulih pasca pandemi COVID-19.
Mahasiswa Berteriak, Menggelorakan Aspirasi
Mahasiswa, sebagai pihak yang paling terdampak oleh kebijakan kenaikan UKT, menjadi garda terdepan dalam aksi protes. Mereka turun ke jalan, menyuarakan penolakan terhadap kebijakan yang dianggap memberatkan dan tidak adil.
Aksi protes mahasiswa bukan hanya tentang kenaikan UKT, tetapi juga tentang keresahan mereka terhadap sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang dirasa semakin komersial dan tidak berpihak pada rakyat. Mereka menuntut transparansi dalam pengelolaan keuangan PTN, skema bantuan keuangan yang lebih mudah diakses, dan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan tanpa harus membebani mahasiswa dengan biaya yang semakin mahal.
Pemerintah: Antara Kebutuhan dan Respons
Pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek, menjelaskan bahwa kenaikan UKT diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan layanan di PTN. Mereka berargumen bahwa selama ini, PTN kekurangan dana untuk melakukan pembenahan infrastruktur, peningkatan gaji dosen, dan pengembangan program-program inovatif.
Namun, penjelasan tersebut tidak cukup meredakan keresahan mahasiswa. Mereka melihat bahwa kenaikan UKT hanya akan memperparah kesenjangan akses pendidikan tinggi bagi kalangan kurang mampu. Mereka menuntut alternatif solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.
Mencari Solusi yang Berimbang