Untukku menulis merupakan kegiatan rekreasi menuangkan isi kepala yang rumit kedalam tulisan. Ya seperti mentransfer keluh kesah ke media lain, dan cukup menyenangkan rasanya bisa mengurangi beban yang dirasakan diri ke bilangan abjad.Â
Seiringnya waktu mulai menyadari kalau tulisan yang ditulis terasa kurang. Banyak hal-hal yang seperti bisa dikembangkan lagi.
Mulailah melatih diri dengan mencoba rutin menulis artikel sehari sekali minimal 300 kata. Mengikuti kelas online gratis agar mendapatkan gambaran tentang kepenulisan. Mulai bertanya pada kenalan tentang kepenulisan yang baik dan benar definisi mereka seperti apa.Â
Tanpa sadar kegiatan menulis menjadi rutinitas, dan tanpa sadar kegiatan yang awalnya mula-mula mengarahkan ke banyak hal. Dari menulis mendapatkan teman baru, dari menulis juga mendapatkan penghasilan walau terhitung tidak seberapa. Ada rasa syukur karena, hal itu semuanya.Â
Namun, belakangan tujuan menulis mulai terkikis perlahan-lahan. Sebenarnya aku menulis untuk apa? uang? ketenaran? atau apa?.
Pertanyaan-pertanyaan ini membuat ku terdiam sejenak awalnya malah menjadi berhari-hari. Aku sadar ternyata aku menulis mengejar cepat dan menghasilkan ada beberapa poin penting yang aku lewatkan sepertinya.Â
Aku melupakan kebebasan dan rasa menyenangkan dalam menulis. Ternyata proses menulisku sudah sampai tahap dimana aku jenuh. Hal yang kuk pikirkan ialah jumlah tayang, dan predikat semata.Â
Aku lupa esensi penting dalam menulis yaitu kenikmatan berbagi. Hal yang aku tulis belakangan hanya mengejar jumlah tayangan semata. Akan tetapi apakah itu salah juga?
Aku ingat saat menghadiri acara JAFF 2022 lalu, aku datang ke acara diskusi dari Mas Sweta Kartika. Beliau merupakan kreator komik dari Indonesia yang karyanya aku kagumi. Selama aku mengikuti acara diskusi tersebut. Beliau sempat menjawab keresahan banyak kreator. Banyak kreator seperti penulis, desainer, dan pengarang yang terjerembab dalam idealismenya.Â
Banyak kreator yang lebih memilih idealisme ketimbang pasar, dan banyak juga kreator yang menggadaikan idealisme untuk pasar demi uang.Â