Mohon tunggu...
Si Penonton Layar
Si Penonton Layar Mohon Tunggu... Apoteker - Penikmat Film/Pembaca buku/Penikmat hal-hal unik

Berbagi sudut pandang tentang film dari sisi penonton, dan berbagi banyak hal yang perlu diulas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bahasa Jaksel yang Sering Membuat Salah Sangka

12 November 2022   13:14 Diperbarui: 12 November 2022   13:39 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Christina @ wocintechchat.com on Unsplash   

Bahasa Jaksel menjadi hal yang kekinian. Menyelipkan diksi-diksi Inggris dalam setiap katanya untuk saling berkomunikasi. Sudah menjadi hal wajar bagi warga Jaksel berkomunikasi seperti itu, dan kalau dilihat dari berbagai sisi tentunya hal itu sah-sah saja. Namun, permasalahan bahasa di negara Indonesia ini cukup unik. Keragaman suku, budaya, dan bahasa daerahnya sangat amat beragam. Mungkin Jaksel salah satu budaya baru yang terbentuk dari perkembangan zaman. 

Tidak salah menyelipkan kata atau mencampurkan bahasa Indonesia dan bahasa lain dalam berkomunikasi. Toh kita tiap hari pun pasti menggunakan campuran dari bahasa. Minimal ada bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang kita selipkan dalam obrolan kita antar sesama. 

Hal yang menarik adalah munculnya fenomena superior bahasa. Beberapa daerah ada yang antipati terhadap bahasa daerah lain. Entah kenapa bisa terjadi, dan cukup unik jika kita kaji. Ambil contoh penggunaan "elu & gue" kata umum dari Jakarta yang secara bahasa diserap dari bahasa Tionghoa. 

Jika kata-kata tersebut digunakan berkomunikasi ke daerah lain, masyarakat daerah tersebut akan merasa antipati dengan sosok yang menuturkan. Ada rasa tersinggung dan kurang nyaman. Dari pengalaman seorang teman ia sangat kurang nyaman dengan kata-kata tersebut terkesan "sok kota" katanya. 

Sama halnya dengan fenomena bahasa Jaksel yang menyelipkan kata Inggris dalam obrolannya. Orang-orang akan merasa aneh untuk menyimak. Diksi kata, dan kalimat yang digunakan sulit untuk dipahami. 

Fenomena Jaksel bisa jadi kesenjangan sosial atau penutur bahasa Jaksel tidak terbiasa menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Gudang kalimat, dan perbendaharaan kata bahasa Indonesia dari warga Jaksel kurang. Mereka tidak bisa mendapatkan padanan kata yang tepat untuk kata yang mereka ingin ucapkan. 

Unik bukan? Masyarakat Indonesia tidak antipati bahasa manapun sebenarnya, hanya saja si penutur bahasanya kadang tidak memahami konteks ia sedang berada dimana dan ia tidak memiliki kemampuan berbahasa Indoensia yang baik. Sering kali menimbulkan kesalahpahaman. 

Ya bahasa ala anak Jaksel memang campur-campur. Nacy Tanner yang pernah mengkaji dan meneliti para elite di Indonesia pada tahun 1967 menjelaskan bahwasanya obrolan "gado-gado" -keminggris atau kemlondo jamak ditemui di kalangan pebisnis, akademisi, dan pemerintahan. Penutur bahasa seperti ini menunjukkan terjadinya modernisasi. Penggunanya bisa menambah status penutur sebagai seorang yang elite terdidik.

Nyatanya memang penggunaan bahasa bisa menunjukkan strata sosial dari penuturnya. Banyak individu yang ingin merasa, dan dianggap strata sosialnya tinggi sehingga ia meninggikan bahasanya. Menggunakan bahasa Inggris sebetulnya hal baik. Bahasa Inggris merupakan bahasa Internasional. Sumber ilmu, jurnal ilmiah, buku-buku, dan media informasi hampir semuanya berbahasa Inggris. Jadi hal baik jika belajar bahasa Inggris sebenarnya.

Tentu saja hal itu harus disesuaikan dengan konteks. Jangan mengedepankan bahasa Inggris saja untuk mencitrakan diri sebagai seorang elite. Kita di Indonesia belajar bertutur, dan berbahasa Indonesia yang baik juga penting. Menjaga kelestarian bahasa Indonesia perlu diperhatikan. Jangan berdalih dengan "belajar bahasa Inggris itu penting" dan kemudian tidak mengembangkan bahasa sendiri. 

Mari kita lestarikan bahasa Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun