Sabun batang merupakan produk yang sudah tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Terutama masyarakat Indonesia yang gemar mandi. Bisa dikatakan masyarakat kita adalah golongan masyarakat yang rajin mandi. Minimal mandi sehari 2 kali. Ya mungkin perbedaan musim yang dimana negara kita memiliki iklim tropis dan kelembaban yang tinggi. Tubuh mudah berkeringat dan wajib mandi untuk menjaga kebersihan tubuh.Â
Perihal sabun di Indonesia variasinya cukup banyak. Hampir semua kalangan memiliki sabun favoritnya masing-masing. Untukku adasatu sabun yang sering menolongku disaat akhir bulan, dan berlanjut hingga kini. Merk Sabun tersebut adalah sabun Harmony. Harganya murah meriah bisa dibeli warung kelontong dengan harga Rp.2000-3500 saja.
Untuk kualitasnya dari segi wangi menurutku sabun ini cukup wangi berani diadu wanginya dengan produk sabun lainnya. Untuk busa memang sabun Harmony minim busa namun cukup baik dalam membersihkan.
Akan tetapi entah kenapa sabun yang menurutku memiliki kualitas yang baik-baik saja ini sering dijadikan bahan candaan. Ya memang candaan, namun konotasinya "murah"/ "sabun kere". Ya akupun beralih ke sabun ini pun karena keterbatasan dana dan demi mencukupi kebutuhan ku sih hhe. Â Sering aku jumpai candaan seperti itu. Bahkan aku menemukan 1 artikel dari Mojok yang memiliki kisah yang senada.Â
Saya heran ketika seorang teman tiba-tiba menatap saya penuh rasa iba hanya karena saya langganan detergen Boom dan sabun Harmony.
Katanya, dia salut sama jiwa ngirit saya. Demi menghemat pengeluaran, saya sampai rela membeli detergen dan sabun mandi paling murah seantero rak toko. Padahal, bungkus produknya saja biasanya sampai lecek saking lamanya nggak terjual. "Aku salut," ujarnya kala itu. Njir, itu pujian atau hinaan, sih? Tapi saya terkekeh saat mendengarnya.
Padahal kalau dilihat secara esensi sabun harmony secara kualitas tidak kalah jauh dari sabun lainnya. Ya mungkin tidak tenar karena tidak mempromosikannya secara komersil. Seingatku pun tidak pernah menemukan iklan sabun Harmony.Â
Nyatanya kita memang makhluk yang selalu menghakimi akan sesuatu. Tidak melihat hal secara esensinya. Bisa dikatakan kita adalah makhluk yang picik haus akan pengakuan. Terlihat banyak orang yang rela membeli pakaian mewah padahal secara esensi hanya untuk menutup tubuh. Secara fungsi tidak jauh berbeda yang membedakan hanya harga saja.Â
Kadang kita sebagai manusia melupakan hal yang dibutuhkan, kita lebih memilih hal yang kita inginkan. Padahal bukan sesuatu yang kita butuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H