Mohon tunggu...
Nabial C G
Nabial C G Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker/Penikmat Film/Pembaca buku/Penikmat hal-hal unik

Berbagi sudut pandang tentang film dari sisi penonton, dan berbagi banyak hal yang perlu diulas

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Musik Efek Rumah Kaca Menangkap Makna Politik Indonesia

1 September 2022   00:57 Diperbarui: 1 September 2022   19:42 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Parker Johnson on Unsplash   

Aku mengingat lagu dari Efek Rumah Kaca berjudul Merah yang dirilis pada tahun 2016 lalu. Ada bait lirik yang menggelitik perihal politik kita. Kalau kalian perhatikan dalam liriknya begitu sarkas menghujat oknum yang menjadikan politik tempat cari kuasa. Pada penggalan bait pertama di lagu Merah:

Dan kita arak mereka, bandit jadi panglima
Politik terlalu amis, dan kita teramat necis
Slalu angkat mereka, sampah jadi pemuka
Politik terlalu najis, dan kita teramat miris.


Sedari dulu kalau membahas politik tidak ada habisnya segala aspek menjadi satu. Baik itu suku, agama, pekerjaan dan banyak lagi lainnya. Efek Rumah Kaca atau ERK sebutannya merilis lagu Merah ini mengejawantahkan politik Indonesia. Liriknya yang menusuk pahit. 

Memang politik ini pelik nan unik apalagi saat masa-masa kampanye. Para calon dengan gencar mencari suara. Tidak lepas juga intansi akademik menjadi tempat meraup suara. Akan tetapi perihal ini para calon kandidat masuk secara mulus dengan dalih pembicara tidak secara terang-terangan membawa diri untuk kampanye. 

Dengan dalih sebagai pembicara bisa jadi para calon kandidat mampu menyelipkan juga mengenalkan diri mereka ke mahasiswa. Rasanya mahasiswa tidak sesederhana itu. Kenapa kampus sering didatangi para calon kandidat ya karena usia mahasiswa sudah berhak menjadi pemilih. Kemudian mahasiswa secara umum melek politik sungguh calon pendukung yang berpotensi bukan.

Sebenarnya tidak apa bila para calon kandidat menjual diri untuk kampanye. Hal itu sah-sah saja namun, yang perlu dipahami ialah keterbukaan para calon kandidat perihal ini. Dibanding sebagai pembicara baiknya membuat ajang diskusi terbuka. Karena sering kali acara yang dihadiri para calon kandidat  itu semacam acara seremoni saja tidak lebih tidak kurang. 

Bagaimana mahasiswa mau memilih kandidat bila tidak memahami visi misi kandidat. Memang sudah ada ajang debat antar para kandidat untuk melihat seberapa kemampuan mereka memahami, juga menguasai  hal-hal yang diperlukan untuk memimpin. 

Namun sekali lagi mahasiswa tidak bisa dianggap remeh pemikiran kritisnya. Jangan jadikan tamu pembicara untuk memasukkan kampanye terselubung. Jika ingin kampanye ya kampanye saja buat ruang diskusi publik perihal kebijakan-kebijakan semisal nanti terpilih. Ajak para mahasiswa untuk berdiskusi. 

Saat ini mahasiswa hanya diberikan panggung politik lewat demonstrasi semata. Sepertinya diskusi sehat, bertukar ide antar sesama warga Indonesia bisa menjadi pilihan dalam berkampanye di kampus-kampus.

Ini menurut opiniku kalau opini mu?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun