Mohon tunggu...
nabhanmuhammad
nabhanmuhammad Mohon Tunggu... Sejarawan - Saya adalah Mahasiswa UIN SALATIGA

Saya suka sekali memberikan opini apapun, dari segi politik, sosial, sosiologi, bahkan ekonomi: yang berperan sebagai perspektif rakyat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Opini Politik : Antara Kebencian dan Kenyataan, Korupsi sebagai Budaya.

15 Desember 2024   01:29 Diperbarui: 15 Desember 2024   01:29 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik di Indonesia seringkali dipandang sebagai dunia yang penuh dengan ketidakadilan, intrik, dan korupsi. Setiap hari kita disuguhi berita tentang pejabat yang terjerat kasus korupsi, dan reaksi rakyat pun pasti cepat: marah, kecewa, dan merasa muak dengan penyalahgunaan kekuasaan. Korupsi menjadi musuh utama di mata banyak orang, dan seringkali, rakyat menyalahkan pemerintah sebagai akar masalah. Kritik datang begitu cepat setiap kali ada pejabat yang terjerat kasus, dengan kata-kata pedas seperti "gak bener" atau "korupsi lagi". Orang-orang merasa pemerintah yang mereka pilih justru menjadi bagian dari masalah ini.

Tapi, pernahkah kita berpikir, kalau rakyat diberi kesempatan untuk berkuasa, apakah mereka pasti lebih baik? Apakah kita benar-benar bebas dari potensi untuk terjerumus ke dalam praktik yang sama? Kalau kita pikir lebih dalam, kenyataannya bisa jadi lebih rumit dari yang kita kira. Korupsi bukan hanya masalah yang ada di kalangan pejabat, tapi bisa terjadi di mana saja, bahkan di antara rakyat biasa yang selama ini sering mengkritik.

Salah satu contoh yang cukup jelas adalah Anas Urbaningrum. Dulu, dia dikenal sebagai aktivis yang terlibat dalam gerakan reformasi 1998, yang menuntut perubahan dan keadilan. Anas adalah salah satu tokoh yang digadang-gadang bisa membawa angin segar untuk politik Indonesia. Namun, ketika dia menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, kasus korupsi yang melibatkan proyek Hambalang malah membuatnya jatuh. Anas yang dulu berjuang untuk perubahan, justru terjebak dalam sistem yang dia lawan. Kasus ini menunjukkan bahwa kekuasaan itu bisa merubah siapa saja, bahkan mereka yang awalnya punya niat baik.

Kasus Anas menunjukkan bahwa korupsi itu bukan hanya soal pejabat besar yang menyalahgunakan kekuasaan, tapi masalah sistemik yang bisa menjangkiti siapa saja yang punya akses ke kekuasaan. Rakyat yang sering mengutuk korupsi dan memaki pejabat yang terlibat, mungkin saja akan bertindak sama kalau mereka berada di posisi yang sama. Bahkan, kalau diberi kesempatan, bisa jadi mereka juga akan tergoda untuk mengambil keuntungan pribadi. Ini bukan hanya soal moral individu, tapi tentang sistem yang memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan terjadi.

Selain Anas, kita juga bisa lihat fenomena serangan fajar yang sering terjadi saat pemilu. Serangan fajar ini adalah praktik di mana oknum-oknum politik memberi uang kepada rakyat kecil, dengan harapan mereka akan memilih calon tertentu. Banyak rakyat yang menunggu amplop berisi uang itu, dan meskipun mereka tahu itu adalah praktik yang tidak benar, mereka tetap menerima uang tersebut. Bahkan setelah menerima amplop, seringkali mereka tetap tidak memilih calon yang memberi uang, lebih mengutamakan uang haram itu. Ini juga adalah bentuk korupsi, yang melibatkan rakyat biasa yang mengharapkan keuntungan materi dari politik, tanpa memikirkan integritas pemilu.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana budaya korupsi bisa merusak tatanan politik kita. Uang menjadi alat untuk mempengaruhi pilihan rakyat, dan ini merusak demokrasi itu sendiri. Rakyat yang seharusnya jadi agen perubahan, malah terjebak dalam praktik yang sama. Mereka yang kritis terhadap korupsi, ketika diberi kesempatan, juga bisa terjebak dalam perilaku yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya masalah pejabat, tapi masalah yang bisa menyentuh siapa saja, bahkan rakyat biasa.

Pada akhirnya, pertanyaan yang harus kita tanyakan adalah: sejauh mana kita benar-benar berbeda dari mereka yang kita kritik? Apakah kita benar-benar bisa menahan godaan kekuasaan dan uang? Karena politik dan kekuasaan punya daya tarik yang sangat kuat, dan seringkali mengubah siapa saja yang mengalaminya. Yang dulunya bersih dan teguh, bisa saja terjerumus ke dalam praktik yang sama. Korupsi bukan hanya masalah moral individu, tapi masalah struktural yang harus kita perbaiki bersama. Tanpa ada perbaikan sistem yang jelas, korupsi akan terus ada, dan yang tampaknya bersih bisa saja terperosok ke dalamnya.

Itulah kenyataannya dalam politik Indonesia, di mana sistem yang lemah dan kesempatan yang datang dengan kekuasaan bisa mengubah siapa saja menjadi bagian dari masalah itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun