Mohon tunggu...
Muhammad Nabhan Fajruddin
Muhammad Nabhan Fajruddin Mohon Tunggu... Lainnya - Petualang Ilmu

Akademisi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penghambat Pembelajar Sepanjang Hayat; Trauma Pendidikan

27 Desember 2023   21:09 Diperbarui: 2 Januari 2024   10:47 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.canva.com/

Pendidikan tidak hanya mencakup sesuatu mengenai hal-hal teknis di sekolah seperti kurikulum. Tetapi pendidikan mencakup semua elemen dan faktor yang berkorelasi dengan pendidikan, termasuk faktor sosial dan psikis. Salah satu hambatan kemajuan pendidikan Indonesia adalah kurangnya perhatian pemerintah kepada isu persepsi siswa terhadap pendidikan. Akibatnya muncul trauma pendidikan yang disebabkan karena persepsi negatif siswa terhadap pendidikan. Opini penulis mengenai  trauma pendidikan disebabkan karena bullying, kegagalan akademis, stres akademis, diskriminasi, konflik pribadi, kekerasan di sekolah. Tekanan yang begitu berat dari pihak luar dan cara memandang pendidikan yang salah menjadi faktor penyebab trauma pendidikan yang terjadi.

Dilansir dari Okezone.com, menyatakan bahwa Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat terdapat ribuan kasus kekerasan terhadap anak dalam periode Januari hingga Agustus 2023. Terdapat kasus kekerasan fisik di angka 2.325, psikis 2.618, kekerasan seksual 6.316, lainnya eksploitasi anak, TPPO dan lain-lain. 

Data tersebut menunjukkan bahwa faktor bullying, diskriminasi, dan kekerasan seksual masih cukup banyak yang menjadi faktor penyebab trauma pendidikan. Kekerasan fisik dan psikis menjadi faktor eksternal yang dialami oleh siswa, yang terjadi karena lingkungan yang buruk dalam menghargai satu sama lain. Dalam ranah motivasi belajar siswa yang mengalami bentuk kekerasan baik fisik maupun psikis pasti akan menjadi seorang yang tidak percaya diri dan trauma terhadap lingkungan tersebut. Kasus tersebut menjadi gambaran bahwa terhambatnya kemajuan pendidikan Indonesia disebabkan karena kasus-kasus yang menjadikan siswa trauma untuk belajar.

Melihat pendidikan Indonesia hari ini, dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Universitas guru selalu memberikan banyak tugas kepada siswa. Selain itu, terdapat guru yang kurang kompeten dan selalu menekan dan memaksa siswa untuk menjadi pintar dengan cara yang kurang tepat. 

Serta, tatanan sosial yang menjustifikasi dan menekankan siswa agar mendapat rangking dan nilai tertinggi dalam capaian akademik. Masalah tersebut merupakan penyebab terjadinya stres akademik dan kegagalan akademik yang berdampak pada trauma pendidikan. Tugas yang menumpuk, belum lagi tekanan orang tua kepada anak, norma pendidikan yang tinggi, menyebabkan siswa akan mengalami stres akademik. Siswa yang selalu gagal, belum menemukan potensi, justifikasi lingkungan yang negatif, menyebabkan siswa merasa gagal dan tidak memiliki kemampuan akademik yang baik, hal tersebut menjadi penyebab terjadinya rasa kegagalan akademik yang dialami anak.

Selain beberapa faktor di atas terdapat satu hal yang penting dalam menentukan siswa agar selalu gandrung kepada belajar. Pendampingan awal orang tua terutama ibu dalam mendidik anak dan memperkenalkan anak kepada pendidikan dilakukan secara baik dan bijak.

 Sering kali orang tua hanya menekankan sesuatu pada hasil yang baik dalam ranah akademik, dan lupa pada proses serta menggali potensi anak. Selain itu orang tua sering kali bertengkar dengan anak untuk memaksa anak belajar, sementara bagi anak belajar adalah sesuatu yang membosankan. Oleh karena itu, orang tua sebagai pendidik pertama bagi anak harus mencari cara ideal dalam mendidik anak serta menanamkan persepsi kepada anak bahwa belajar adalah hal yang menyenangkan. Dengan begitu fondasi awal persepsi seorang anak terhadap pendidikan dan  belajar merupakan sesuatu yang menyenangkan dan mengasyikkan.

Menjawab permasalahan trauma pendidikan di atas, langkah nyata yang bisa dilakukan orang tua adalah menumbuhkan potensi nalar kepada anak. Dalam memperkenalkan anak kepada pendidikan tidak lagi menggunakan pendekatan yang selalu menuntut pada hasil. Seharusnya orang tua mendampingi proses bernalar anak melalui pendekatan dialog, agar anak dapat berlatih menganalisis informasi yang ditangkap. Melalui pertanyaan yang ditanyakan anak, artinya anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, hal itu menjadi pintu gerbang anak dalam mengenal ilmu pengetahuan. Pendekatan tersebut menjadikan persepsi anak tentang belajar tidaklah negatif dan membosankan. Anak justru akan senang dengan berbagai pertanyaan yang muncul karena rangsangan dialog yang dilakukan dengan orang tua. Dengan demikian, persepsi awal anak terhadap pendidikan menimbulkan persepsi positif hal ini menjadi awal pencegahan dari masalah trauma pendidikan.

Mengenai masalah kasus kekerasan, bullying, diskriminasi, dan stres akademis itu adalah faktor eksternal yang tergantung pada kondisi lingkungan sosial. Artinya masalah tersebut terjadi karena faktor sosiologi pendidikan yang sedang dialami negeri ini. Sudah selaiknya masalah sosial yang berdampak pada kondisi pendidikan menjadi kewajiban para pemangku kebijakan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Wewenang pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dapat mengurangi masalah-masalah sosial yang berdampak bagi pendidikan perlu ditekankan. Dengan campur tangan pemerintah sebagai regulator negara hukum ini, maka masalah-masalah yang berkaitan dengan hal tersebut dapat berkurang sedikit demi sedikit.

Pada akhirnya, masalah-masalah di atas menjadi refleksi untuk bangsa ini bahwa masih banyak pelajar dan masyarakat trauma terhadap pendidikan karena beberapa faktor. Hal tersebut adalah persoalan yang harus dibenahi demi kualitas pendidikan bangsa ini. Sesungguhnya mengatasi trauma pendidikan adalah langkah awal untuk melahirkan bangsa yang gandrung kepada ilmu pengetahuan. Persepsi yang positif tentang pendidikan sejak dini dan kesadaran bahwa esensi pendidikan menekankan pada proses merupakan cikal bakal lahirnya pembelajar sepanjang hayat. Jika masyarakat suatu bangsa memiliki jiwa pembelajar sepanjang hayat maka sumber daya manusia bangsa ini menjadi manusia yang berilmu pengetahuan dan berbudi pekerti yang akan memajukan bangsa Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun