Pada masa awal kekuasaannya Soeharto menekankan dua tujuan utama dibawah kepentingannya, yaitu menciptakan stabilitas politik dan keamanan dan membangun kempali perekonomian yang hancur. Kedua hal tersebut merupakan hal yang saling berkaitan satu sama lain. Untuk mewujudkan tujuannya tersebut tentu saja Soeharto merombak beberapa regulasi atau aturan yang ada dalam negeri, tidak terkecuali politik luar negerinya. Dalam pengimplementasiannya Soeharto tidak semerta-merta langsung merombak semua kebijakan politik luar negeri yang ditinggalkan Soekarno. Kebijakan luar negeri seperti sifat politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan berprinsip anti-imperialisme tetap digunakan. Begitu juga tentang mempertahankan peranan pentingnya di Kawasan Asia Tenggara.
Perubahan yang dibawa oleh Soeharto kedalam politik luar negeri Indonesia seperti rekonsiliasi hubungan dengan Malaysia. Seperti yang kita ketahui Pemerintahan pada masa Soeharto diawalnya berfokus untuk menghapuskan semua hal yang berhubungan dengan PKI. Tetapi disamping hal itu pada awal pemerintahannya Soeharto tak hanya berfokus kedalam negeri tetapi ia juga mencoba untuk memperbaiki citra Indonesia dimata Internasional. Langkah pertama yang ia lakukan untuk mewujudkan citra yang baik itu adalah merekonsiliasi hubungan diplomatik dengan Malaysia yang telah berlangsung sejak 16 September 1963.Â
Rekonsiliasi mulai menuju realisasi setelah momentum 11 Maret, dimana Soeharto mengambil alih kekuasaan. Diwakili oleh Menlu saat itu Adam Malik Indonesia mulai melakukan rekonsiliasi hubungan dengan Malaysia pada tanggal 11 Agustus 1966 yang menghasilkan beberapa kesepakatan diantaranya: (a) Pasal pertama menyatakan bahwa untuk upaya penyelesaian masalah, Pemerintah Malaysia bersedia memberikan kesempatan kepada rakyat Sabah dan Serawak untuk terlibat secara langsung memlalui praktek-praktek yang bebas dan demokratis melalui Pemilihan Umum, mengenai keputusan selanjutnya tentang status mereka di Malaysia. (b) Pasal kedua menitikberatkan pada komitmen kerjasama dan persahabatan yang semakin dekat. Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia sama-sama setuju bahwa hubungan dan representasi diplomatik di antara dua negara harus dibentuk sesegara mungkin. (c) Pasal ketiga menyatakan bahwa kedua belah pihak setuju untuk mengakhiri tindakan-tindakan permusuhan secepatnya. Dengan disepakatinya persetujuan rekonsiliasi berakhirlah konfrontasi Indonesia-Malaysia yang sudah berlangsung kurang lebih 3 tahun. Selama proses rekonsiliasi tersebut Indonesia menjalankan dua taktik diplomasi yaitu secret diplomacy dan open diplomacy.
Perubahan lainnya yaitu pemutusan hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Pemutusan hubungan diplomatik ini dikarenakan adanya dugaan keterlibatan Tiongkok dalam mensponsori Partai Komunis Indonesia dalam melakukan gerakan pemberontakan. Lalu disusul kembalinya Indonesia sebagai anggota PBB, Sebelumnya Indonesia dibawah pemerintahan Soekarno memutuskan untuk menarik diri dari keanggotaan PBB, hal ini didorong salah satunya oleh diangkatnya Malaysia sebagai Dewan Keamanan tidak tetap PBB.
Tapi di bawah kepemimpinan Soeharto Indonesia pada 28 September 1966 memutuskan untuk kembali bergabung kedalam PBB hal ini didorong oleh syarat yang diajukan oleh Jepang apabila Indonesia ingin mendapat bantuan ekonomi, syarat lainnya adalah menhentikan konfrontasi dengan Malaysia. Fakta menarik yaitu sebenarnya Indonesia tidak pernah benar-benar meninggalkan PBB karena tanpa sepengetahuan Soekarno Menlu Soebandrio membiarkan beberapa orang staf di bawah pimpinan E.H. Laurens untuk tetap tinggal di New York. Hal ini dilakukan untuk tetap memelihara hubungan dengan Sekretariat PBB dan memudahkan Indonesia apabila nantinya kembali masuk PBB.
Berikutnya normalisasi hubungan dengan negara-negara barat dan Jepang. Pada Mei 1966, Jenderal Soeharto menjabat sebagai ketua Kabinet Ampera mengunjungi Jepang untuk meminta bantuan. Kedatangan Soeharto dilakukan setelah Menteri Luar Negeri Jepang Koshisaburo Shiina memberi isyarat bahwa pemerintah Jepang perlu mengambil langkah segera untuk membantu pemerintah Indonesia saat. Pada tanggal 1 September 1966, Perdana Menteri Ekonomi dan Keuangan Sultan Hamengku Buwono IX (Sultan Hamengku Buwono IX) mengunjungi banyak negara Eropa, seperti Italia, Prancis, Belanda, Jerman, dan Inggris, yang nantinya tergabung dalam Paris Club. Kunjungan Indonesia tersebut disambut positif, dengan dibahasnya kondisi krisis ekonomi Indonesia dalam forum Tokyo Meeting dan Paris Meeting.
Kebijakan lainnya yaitu seperti aktifnya Indonesia dalam membangun hubungan multilateral, bukti nyata ini bisa kita lihat bagaimana Indonesia berperan aktif bersuara di PBB seperti saat menyuarakan tentang peraturan wilayah teritorial laut dalam forum UNCLOS. Kemudian peran aktif Indonesia juga dapat kita lihat dalam Gerakan Non-Blok, Indonesia pernah menjadi ketua untuk periode 1992-1995 dan berhasil memelopori Pesan Jakarta (Jakarta Message) yang isinya: Pertama, menghapus keraguan negara anggota mengenai relevansi GNB. GNB berketetapan untuk menjadikan dirinya forum dialog kerjasama konstruktif dan bagian yang integral dari hubungan internasional.Â
Kedua, GNB mulai menekankan pada kerjasama ekonomi untuk mengisi kemerdekaan yang telah dicapai negara-negara anggotanya. Ketiga, adanya kesadaran untuk meningkatkan kerjasama Selatan-Selatan dan percaya dengan potensi yang ada pada diri sendiri. Selain GNB, Indonesia juga tergabung dalam organisasi internasional dan regional seperti OKI, APEC, dan ASEAN. Selain itu ada juga pembentukan Consultative Group on Indonesia sebagai pengganti dari IGGI. Itulah beberapa perubahan dalam politik luar negeri di era Soeharto
Warisan yang ditinggalkan oleh Soeharto tidak lain adalah ASEAN, Soeharto mewariskan ASEAN yang hingga saat ini berperan penting tidak hanya bagi Indonesia tapi bagi negara-negara di ASEAN. Peran penting ASEAN bagi Indonesia yaitu sebagai wadah atau sarana menjalin hubungan kerjasama regional selain itu juga sebagai sarana dalam menjaga stabilitas baik ekonomi, politik ataupun keamanan di regional Asia Tenggara.
Refrensi:
Haryanto, A., & Pasha, I. (2016). Diplomasi Indonesia Realitas dan Prospek. Pustaka Ilmu.