Mohon tunggu...
Tirto Malaka
Tirto Malaka Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam, Ideologi, Kesadaran Palsu yang Merusak Bangsa

1 Januari 2018   12:16 Diperbarui: 1 Januari 2018   12:25 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seringkali manusia tidak terhubung satu sama lain dalam kesadaran yang serupa terhadap apa yang disepakati oleh mereka sendiri dalam sebuah peradaban bangsa, sehingga tidak tercapainya kesadaran kolektif. Hubungan antar kesadaran tiap individu inilah yang disebut kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif berpotensi menciptakan perubahan sosial bahkan situasi chaos dalam suatu negara. Agama merupakan oase yang efektif bagi negara yang memunyai masalah  dalam perekenomian dan politik.

Agama dan kesadaran kolektif adalah dual yang tak terpisahkan dalam kehidupan sosial karena agama memuat nilai dan moral yang seringkali dipaksakan untuk diterapkan di negara ini walaupun negara ini terdiri dari berbagai macam suku, ras, keyakinan, agama dan sebagainya yang berbeda-beda. Adanya interaksi sosial yang terus menerus berpotensi menciptakan kesadaran kolektif, seperti mendengar khutbah jumat, seringkali khutbah jumat menjadi media yang efektif untuk menyampaikan nila-nilai yang bermuatan politis. Namun kesadaran kolektif yang demikian, tak ubahnya dengan kesadaran yang dimanipulasi karena  meleburnya kesadaran otentik individu.

Lantas apakah agama menyatukan kesadaran antar individu-individu hingga membentuk kesadaran kolektif? Apakah semangat spiritual yang menyatukan kesadaran tiap individu beragama? Atau malah semangat apolegetika yang primitif dan atau yang dikendalikan oleh suatu kelompok yang berkepentingan terhadap kelompok mayoritas yaitu umat muslim di Indonesia? Apakah dengan beragama yang sama lantas apa yang kita pikirkan juga sama? Lantas membuat individu memunyai tujuan yang sama?

Ataukah agama serupa buku memunyai berbagai macam penafsiran, sehingga melahirkan berbagai wajah konsep yang berbeda yang disebut aliran keagamaan, namun agama bukanlah buku karena tidak semua buku memunyai pengaruh sekuat agama. Agama seperti halnya bejana sedangkan para penganutnya adalah air di dalam bejana itu sendiri. Namun air sendiri sangat beragam kandungannya seperti halnya beragam latar,suku, adat dan bahasa kita, namun tetaplah agama selalu mampu membentuk watak para penganutnya.

Agama menurut Cliford Geertz adalah sebagai sebuah sistem budaya : 1) Sebuah sistem simbol yang bertujuan; 2) Membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah  hilang dalam diri seseorang dengan cara; 3) Merumuskan tatanan konsepsi kehidupan yang umum; 4) Melekatkan konsepsi tersebut pada pancaran yang faktual; 5) Yang pada akhirnya konsepsi tersebut akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik.

Seperti halnya pendapat Dawkins dalam bukunya God Delusion bahwa agama mendikte segala tingkah laku individu hingga hal-hal terkecil sekalipun.

Namun sekali lagi yang menjadi pertanyaan, apakah agama terutama agama mayoritas yaitu Islam di negara ini mampu menyatukan kesadaran antar individu hingga menjadi kesadaran kolektif?

Kesadaran kolektif yang murni berdasarkan pikiran yang  Atau mungkin Islam adalah ideologi semata-mata saja apalagi jika melihat kedudukannya yang superior di negara ini, negara hukum yang sebelah kakinya berpijak pada sekulerisme dan anti sekulerisme yang artinya  lembaga keagamaan tidak memisahkan diri dari lembaga pemerintahan.

Jika melihat apa yang dinyatakan Karl Marx bahwa ideologi adalah kesadaran palsu dan Islam sebagai ideologi. Semangat sosial para umat Islam yang akhir-akhir ini berpartisipasi dalam aksi massa mencerminkan kesadaran kolektif yang palsu, palsu dalam artian berpura-pura dan kaum mayoritas tak mau mendalami konteks permasalahan yang sedang terjadi, begitu mudah kalangan pemuda-pemudi pesantren saat ini diarahkan menjadi massa untuk kepentingan para politikus. Aksi berjilid-jilid 212 untuk suatu kepentingan para pelaku KKN dijalankan oleh kaum mayoritas. 

Undang-undang penistaan agama menjadi alat politik untuk menjebloskan seseorang ke dalam penjara tanpa unsur materi pidana sekalipun, yang ada hanya asumsi. Lalu siapakah yang mudah mengarahkan kaum mayoritas ini, tidak lain adalah tokoh masyarakat seperti misalnya ulama. Jika negara belum terbebas dari KKN dan politik adu domba antar segmen masyarakat, maka kaum mayoritas yaitu umat muslim memang hanya sekumpulan domba yang digiring terus-menerus dan memang ada yang salah pada bejana yaitu agama yang membentuk watak mereka.

-N.B-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun