PENDAHULUANÂ
        Setiap anak memiliki hak untuk menimbang pendidikan, mulai dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi, guna menumbuhkembangkan kemampuan kognitif dan motorik sang anak. Melalui pendidikan, anak dapat meningkatkan kemampuan menganalisis secara kritis, mengasah minat dan bakatnya, mengembangkan kemampuan untuk bersosialisasi dengan orang banyak serta meningkatkan kepercayaan dirinya. Namun, tindak kekerasan dan perundungan masih saja terjadi di dalam dunia pendidikan dan menghadirkan ruang lingkup pembelajaran yang tidak menyenangkan seperti kekerasan fisik, kekerasan simbolik, serta kekerasan verbal. Peristiwa kekerasan dan perundungan tersebut dapat berlangsung tanpa melihat lokasi kejadian, waktu kejadian dan pelaku kekerasan (Diyah & Imron, 2016). Hal ini dibuktikan dengan adanya kasus seorang siswa SMP di Cilacap yang dipukuli beramai-ramai oleh kakak kelasnya dan juga seorang guru SMP di Lamongan yang mencukur rambut 14 siswinya secara paksa karena dinilai tidak mengenakan jilbab secara benar. Rentetan perundungan dan aksi kekerasan di lingkungan sekolah yang melibatkan guru dan siswa kerap kali muncul akhir-akhir ini bagai jamur di musim hujan.
        Kekerasan dalam dunia pendidikan atau yang biasa disebut dengan bullying seringkali didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan secara sistematis, yang dilakukan oleh teman sebayanya atau bahkan guru yang mengajar di sekolah tersebut. Hal ini diakui secara global sebagai masalah yang kompleks dan memerlukan perhatian serius (Menesini & Salmivalli, 2017). Nah, kekerasan dalam lingkungan sekolah dapat diidentifikasi oleh beberapa faktor. Pertama, sebagai bentuk hukuman kepada siswa yang melanggar peraturan sekolah atau tidak mematuhi perintah gurunya saat berlangsungnya proses pembelajaran. Bentuk hukuman yang diberikan dapat berupa kekerasan fisik seperti mencubit, memukul atau bahkan menampar, serta kekerasan yang bersifat verbal seperti berkata kasar dan memaki-maki siswa tersebut (Diyah & Imron, 2016). Kedua, sebagai bentuk nyata dari fenomena kenakalan remaja saat ini yang suka meledek temannya, melakukan pungutan liar secara paksa di kantin sekolah, merokok dan meminum minuman keras, menyalahgunakan obat-obatan terlarang serta melakukan bullying yang melibatkan kekerasan fisik hingga korbannya tersebut mengalami luka-luka atau bahkan meninggal dunia (Permana, 2020). Ketiga atau yang terakhir, sebagai dampak yang disebabkan oleh suasana belajar mengajar yang kurang efektif, didikan keluarga yang sudah diterapkan sejak kecil dan ruang lingkup pergaulan yang menyimpang serta memiliki krisis moralitas (Siregar, 2013).
        Dilansir dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mana terdapat survey, yang dilakukan oleh International Center for Research on Women (ICRW) mengenai kasus kekerasan dalam pendidikan di Indonesia menunjukkan sebanyak 84% anak Indonesia pernah mengalami kekerasan di sekolah dan jumlah kekerasan tersebut lebih tinggi daripada negara Nepal dan Vietnam dengan persentase jumlah yakni 79%, Kamboja sebanyak 73% dan Pakistan sebanyak 43% (Setyawan, 2017). Survey tersebut memperlihatkan banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan Indonesia dan tentunya hal ini merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan dikarenakan pendidikan yang semulanya bertujuan untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, malah menjadi ajang untuk membuktikan siapa yang paling berkuasa.
PEMBAHASAN
        Melalui pendidikan, seseorang dapat mengembangkan potensi dirinya dan membentuk karakter yang baik sekaligus meningkatkan kecerdasan bangsa dengan menghilangkan keterbelakangan dan kebodohan. Bagi kehidupan manusia, pendidikan ditempatkan ke dalam posisi yang penting dikarenakan maksud dan tujuan dari pendidikan itu sendiri ialah agar seorang individu mampu mengatasi kebodohan serta mengembangkan kemampuannya. Pendidikan bermanfaat bagi seluruh kalangan masyarakat sebab pendidikan memungkinkan kita untuk mengembangkan keterampilan berpikir secara rasional. Pendidikan juga dapat membuat seseorang menjadi lebih dewasa dan memiliki wawasan yang luas.
        Namun, di dalam dunia pendidikan itu sendiri, kasus kekerasan dan perundungan menjadi suatu hal yang kerap kali terjadi. Kasus kekerasan ataupun bullying telah lama menghantui lingkungan pendidikan, namun yang sering menjadi sorotan ialah isu-isu kekerasan yang setiap tahunnya selalu terjadi. Di dalam kamus bahasa Inggris, kekerasan biasa disebut dengan kata "violence" yang sangat erat keterkaitannya dengan bahasa latin yaitu "vis" yang berarti daya kekuatan dan "latus" yang berasal dari kata "verre" atau membawa, yang pada akhirnya memiliki arti membawa kekuatan. Nah, dalam kamus bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai suatu sifat atau hal yang keras, kekuatan serta paksaan. Sedangkan dalam kamus New Oxford Dictionary, kekerasan didefinisikan sebagai "behavior involving physical force intended to hurt, damage, or kill someone or something". Perilaku menyimpang ini tidak serta merta terjadi, melainkan terdapat suatu peristiwa yang melatarbelakangi timbulnya perilaku menyimpang tersebut. Hal ini tentunya disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Secara naluriah, setiap manusia memiliki sikap keberanian dan sikap ingin memberontak. Akan tetapi, ketika lingkungan sekitar mengajarkannya untuk dapat mengendalikan hawa nafsu dan mengontrol sikap emosi ketika berinteraksi dengan individu lain, akan menjadikan manusia tersebut lebih bersikap tenang, dan bijak dalam menyikapi persoalan. Sehingga tidak akan ada kekerasan, melainkan hidup dengan damai dan tenteram.
        Peristiwa kekerasan dalam dunia pendidikan dapat dilakukan oleh siapa saja, misalnya teman sebaya, kakak kelas terhadap adik kelasnya, atau bahkan seorang guru terhadap muridnya. Hal tersebut tidak dapat dibenarkan berdasarkan kerangka hukum mana pun, apa pun motif atau alasannya. Maka dari itu, penting bagi semua orang untuk menaruh perhatian lebih terhadap hal ini terutama pemerintah sebagai otoritas serta pengambil kebijakan untuk mencegah terjadinya kekerasan di bidang pendidikan di masa yang akan datang.
        Pada era modern ini, sekolah dianggap sebagai tempat yang tidak aman di berbagai negara seperti Vietnam, Indonesia, Kamboja dan Nepal oleh siswa karena fakta bahwa tempat-tempat tersebut mendorong kekerasan fisik, bahasa yang memalukan, dan pelecehan dari siswa lain. Data yang dikumpulkan dari negara-negara seperti Vietnam, Peru, Ethiopia, dan India menunjukkan bahwa ketidaksukaan siswa terhadap sekolah disebabkan oleh kekerasan fisik dan verbal, seperti yang dilakukan oleh guru dan siswa. Pengurangan kekerasan di sekolah dapat dicapai dengan meningkatkan kualitas tenaga pengajar atau guru. Perjuangan untuk menjadikan sekolah sebagai tempat yang aman akan sia-sia jika isu kekerasan yang beredar terus meningkat.
        Isu kekerasan pada anak dapat menjadi konsentrasi untuk ditangani dunia agar dapat menciptakan generasi yang lebih baik di masa depan. Hal tersebut sangat disayangkan karena sekolah merupakan tempat dimana edukasi berada. Edukasi merupakan kunci untuk menciptakan masyarakat yang damai namun berjuta-juta anak di dunia merasa tidak aman berada di sekolah. Dalam kasus bullying, anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama memiliki resiko yang tinggi. Anak perempuan akan cenderung untuk menjadi korban dalam bentuk psikologi sedangkan anak laki-laki akan cenderung menjadi korban dalam bentuk kekerasan fisik atau ancaman. Begitu pun dengan hukuman fisik yang masih berlaku di sekolah. Terdapat 67 negara-negara di dunia yang masih memberlakukan hukuman fisik kepada murid-muridnya, yang dimana tenaga pendidik tersebut masih menggunakan hukuman fisik untuk mendisiplinkan murid. Di Lebanon, murid seringkali mendapatkan pukulan, tamparan dan dipermalukan di depan khalayak ramai, sedangkan di Afrika Selatan, beberapa murid yang memiliki keterbatasan seperti cacat sensorik dan intelektual, serta autisme kerap menerima kekerasan fisik serta ditelantarkan oleh gurunya baik di sekolah umum maupun di sekolah luar biasa.
        Dilansir dari International Center for Research on Woman (ICRW), mereka mengemukakan bahwa tujuh dari sepuluh anak di Asia mengalami kekerasan saat duduk di bangku sekolah. Di negara tercinta kita yaitu Indonesia, terdapat sebanyak 84 persen kasus kekerasan kepada anak. Ada tiga alasan mengapa kekerasan di sekolah harus dihentikan yaitu pertama, untuk memastikan lingkungan belajar yang aman dan kondusif. Kedua, menghindari kekerasan secara berulang. Ketiga, korban cenderung untuk memiliki pendidikan yang dibawah rata-rata dan tingkat perekonomian yang kecil. Indonesia memiliki angka kekerasan anak yang tinggi. Sektor pendidikan semakin suram akibat maraknya kekerasan terhadap anak. Anak-anak yang tumbuh di sekolah cenderung merasa tidak aman sebab tingginya angka kekerasan yang banyak terdapat di sekolah. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),  tencakup kekerasan dalam arti penyerangan, perampasan, kesusilaan serta kejahatan terhadap orang lain yang dapat mengakibatkan luka-luka atau bahkan kematian. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut di Indonesia dapat menimbulkan perilaku budaya yang dapat menurunkan nilai-nilai kepribadian bangsa.