Â
Terdapat suatu perkara yang pernah ditangani oleh hakim perdamaian desa di Desa Keramas, yakni sebuah kasus tentang perzinaan yang telah terjadi di Banjar Bia antara  wanita yang berinisial WL (48 tahun) warga dari Banjar Desa Keramas yang berprofesi sebagai PNS dan telah bersuami, dengan seorang pria berinisial MJ (60 tahun) seorang seniman yang berasal dari Desa Sukawati.Â
Dari kejadian tersebut, untuk mengadili pelanggaran yang telah dilakukan, maka diadakanlah Paruman Alit Prajuru Desa Pakraman (sidang utusan pengurus desa adat sekecamatan yang mempunyai kekuasaan tertinggi di kecamatan), yang terdiri dari Bendesa Keramas (pemimpin tertinggi), Kelihan Banjar (kepala dusun), dan Perbekel (kepala desa). Paruman Alit yang dipimpin oleh Bendesa Keramas ini kemudian memutuskan bahwa WL dan MJ dinyatakan terbukti bersalah sehingga dijatuhi sanksi. Perkara ini dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran hukum campuran, karena di dalamnya termuat pelanggaran terhadap Hukum Adat dan Hukum Positif yang tertera dalam KUHP.Â
Hukum Positif yang Berlaku
Di dalam hukum positif sendiri, hal tersebut merupakan tindak pidana perzinaan yang termaktub ke dalam Pasal 284 KUHP dengan penjelasan bahwa, perzinaan yang dilakukan oleh dua orang yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan dan diadukan oleh istri atau suami pelaku zina dan dilakukakan atas dasar suka sama suka dengan dijatuhi hukuman maksimal sembilan bulan penjara. Sedang dalam KUHP baru, yaitu UU 1/2023, perzinaan diatur dalam Pasal 411. yang berbunyi "Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II (setara dengan 10 juta." UU 1/2023 tersebut akan berlaku 3 tahun setelah diundangkan, yaitu pada tahun 2026.Â
Hukum Adat yang Berlaku
Bukan hanya hukum positif yang mengatur pelanggaran perbuatan asusila tersebut, namun masyarakat adat di daerah setempat juga memiliki peraturan yang mengikat, seperti halnya hukum adat yang berlaku di Bali. Untuk menjaga dan memastikan kepatuhan terhadap nilai nilai yang ada, masyarakat Bali mengacu pada hukum adat yang dikenal dengan istilah "awig awig". Secara harfiah awig-awig memiliki arti suatu ketentuan yang mengatur tata krama pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang ajeg (tegak) di masyarakat (Surpha, 2002:50). Implementasi awig-awig yang berada dalam domain desa adat atau desa pakraman memiliki arti, yaitu kesatuan masyarakat hukum adat Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat atau umat hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa (pura yang didirikan di setiap desa pakraman dengan tiga tempat persembahyangan). Awig-awig juga dapat diartikan sebagai peraturan yang berlaku dalam suatu desa adat, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tentang tata kehidupan desa adat (Ie Lien Risey Junia, 2023:828).Â
Jika dilihat menggunakan delik hukum adat, maka hal tersebut dapat dijatuhkan sanksi menggunakan awig-awig hukum adat Bali dalam pasal 64 (Pawos 64) yang berisi mengenai hukum drati krama, yakni istilah dalam masyarakat adat Bali yang mengatur kesucian lembaga perkawinan tentang perzinaan, maka dapat dikenakan hukuman membiayai prosesi beberapa upacara yaitu :Â
- 1. Upacara Tawur Kesanga (Tawur Bhuta Yadnya) dilaksanakan di desa adat dan di setiap rumah tanga sesuai dengan kitab agama melalui suara Persatuan Hindu Dharma Indonesia dengan tujuan menjaga keseimbangan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.Â
- 2. Upacara dilaksanakan pada malam hari ke sembilan, dilanjutkan dengan upacara ngrupuk kepada keluarga masing-masing untuk mengusir kejahatan dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.
Selain diberi sanksi adat berupa pembiayaan upacara seperti yang telah disampaikan di atas, pelaku juga dijatuhi konsekuensi tambahan, seperti hubungan perzinaan antara kedua pelaku diberhentikan, kedua belah pihak yang bersangkutan wajib melaksanakan prayscita (pensucian) desa dan prayscita (pensucian) raga, serta tidak luput sanksi sosial dari adanya dampak yang ditimbulkan tersebut adalah para pelaku dikucilkan atau menjadi bahan gunjingan oleh masyarakat sekitar.Â
Adanya sanksi adat berupa pembiayaan upacara dan melakukan upacara penyucian diri serta penyucian desa bertujuan agar para warga desa terhindar dari kesialan atau kutukan yang dipercaya datang dari roh leluhur mereka, dikarenanakan masyarakat adat Bali percaya bahwa terdapat roh nenek moyang yang menjadi pembimbing dan pedoman hidup. Selain itu, sanksi tersebut bertujuan untuk memberikan efek jera dan efek psikis dalam hukuman yang didapat oleh para pelaku. Namun, adanya falsafah Tri Hita Karana dalam adat Bali mengenai hubungan antara Tuhan, alam, dan manusia menyebabkan adanya hukuman moril dan edukatif yang diperoleh setelah mendapat hukuman adat tersebut.Â
Keterkaitan Dengan Teori Hukum Adat
Masyarakat Bali memiliki perspektif yang kaya dan kompleks mengenai norma kehidupan, yang mencerminkan nilai-nilai budaya, spiritual, dan sosial yang mendalam. Berpegang teguh terhadap peraturan adat yang berlaku merupakan ciri khas dari Masyarakat Bali, sehingga jika didapati seseorang melanggar aturan yang ada, maka sanksi sosial akan bergerak secara serentak. Selain itu, kehidupan Masyarakat Bali juga kental dengan kesopan santunan dan menghargai para leluhur. Perbuatan asusila dan kejahatan lainnya dirasa tidak menghormati para pendahulu dan tidak sejalan dengan ajaran agama Hindu yang mengajarkan kebijakan, keharmonisan, dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi, agar tidak mengganggu kestabilan dalam kehidupan, alangkah baiknya lebih berhati-hati dalam bertindak karena seharusnya "di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung."Â
Dalam pemaparan yang telah disampaikan, maka dapat disimpulkan bahwa hal tersebut berkaitan dengan teori sosiologi hukum yang berperan dalam memahami bagaimana hukum adat berfungsi sebagai sarana penyelesaian konflik dalam masyarakat yang lebih menekankan pemulihan lingkup sosial daripada sanksi yang diberikan. Sedang dalam teori sistem hukum adat menyatakan, hukum adat Indonesia menyamakan antara hukum publik dan hukum privat dengan diposisikan dalam pengertian kepentingan bersama. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban diperlukan tanggung jawab semua masyarakat adat bukan hanya penegak hukum saja.
 Sistem hukum adat lebih mengedepankan dan mengutamakan penyelesaian secara sederhana dan seimbang, seseorang yang melakukan pelanggaran atau kejahatan dalam hukum publik dan hukum privat diputuskan secara bersamaan dan dipulihkan secara bersamaan pula, seperti halnya pada contoh kasus di atas, perbuatan zina yang dilakukan oleh masyarakat adat Bali ini merupakan perbuatan yang sangat merugikan seluruh masyarakat adat dan merupakan pelanggaran besar. Oleh karenanya, warga desa turut mengikuti upacara untuk mengembalikan keseimbangan dan kestabilan lingkungan. Bagi masyarakat adat, pelanggaran adat apapun yang dilakukan haruslah diselesaikan dengan cara bergotong-royong. Dengan demikian, tidak ada istilah kepentingan umum ataupun kepentingan khusus.