F I N A M A W A H I B
Fatamorgana  menjelma menjadi gerimis seketika, saat rindu hadir bersama kenangan, yang datang menyatu dengan angin menuju pada selasar ingatan.
Ingatan akan sebuah nama, sebuah cerita, yang membuat daun runtuh sebelum angin meniupnya dengan kencang, wajahmu pun datang diantara awan.
Nuansa hati ini bermelodi tak seimbang, kembang kempis dada menari tanpa ada alasan yang bisa ditepis, saat mendung datang dan memberi isyarat bahwa hujan ragu untuk turun, mungkin malu takut menggannggu aku yang sedang tersekap rindu.
Aku hanya bisa menengadahkan muka kearah angkasa, memandangi mendung bersama rindu yang tak dapat dibendung, seketika air mata tumpah bersama mendung yang terpecah, aku pun pasrah namun tak membiarkan diri diam tanpa tingkah.
Mencari sesuatu yang hilang, yakni kebersamaan, ku telusuri jalan kenangan, aku kedinginan di tengah derasnya hujan, basahnya tak bisa tertahankan, berulang kali memoriku menguap menjadi ilusi kebersamaan.
Alangkah bahagianya aku, dengan ilusi itu, aku mendengar bisikan kebersamaanku dulu, yang menemaniku dalam sunyiku.
Walau ternyata aku tersadar, itu hanya sebuah lamunan, lamunan adalah hujan yang reda, hujan yang reda adalah jeda, jeda sebelum hujan datang membawa kenangan kembali kepada ingatan.
Ah hujan.. Lagi-lagi kamu membawaku rindu kepada romantisme kebersamaan di negeri yang berselimut kebhinekaan.
Hatiku selalu rindu, tapi tak tau kemana aku harus membuka pintu agar masuk dalam kebersamaan yang tercipta dulu.
Indonesiaku..
Bawalah aku dan bangsamu pulang, karena sejatinya Rumahku adalah gubuk kebhinekaan yang bernuansa kebersamaan, bukan panggung dagelan, bukan pula istana yang berisi kebencian.