Minum obat itu emang nggak enak, pahit! Bahkan kadang nggak sebentar. Bisa butuh banyak waktu. Tapi itu menyembuhkan. Menyembuhkan dari ketidaknormalan rasa yang bersemayam.
"Gue rasa lo udah kelewatan deh, Yas. Lo nggak mikir apa tentang...yah...sorry..."
"Ngomong aja nggak pa-pa."
"Harga...di...ri...sorry."
"Hummhh...ya gue tau. Tapi ya udah. Mungkin lo bener. Gue hampir kehilangan kewarasan gue."
"Tu laki perfect banget apa Yas?"
"Umhhh 9 dari 10 untuk ceklisnya."
"Ya tapi kan dia udah tau lo suka sama dia. Lo juga udah bilang. Ya klasik sih Yas. Tapi lo mestinya emang udah nggak melakukan apa-apa lagi. Kalo emang dia suka sama lo, dia lah yang bakal making move."
"Iya. Kalo dia suka kan? Faktanya? Nah itu justru yang membuat gue berpikir. Gue butuh waktu untuk lebih sabar mengetuk pintu hatinya. Meski gue tau diujung sana tetap ada resikonya. Dibukain apa ya nggak dibukain."
"Mau sampe kapan lo kayak orang bego ngarepin dia gitu? Kayak nggak ada laki lain sih Yas?"
"Ada. Tapi gue cuma mau fokus."
"Tapi sakit Yas kalo akhirnya ditolak."
"Oh gue secara nggak langsung udah ditolak kok, Vir. Kan dia bilang emang banyak yang naksir dia."
"Itu laki ya sok ganteng mampus!"
"Haha iya sih. Aslinya nggak ganteng kok, Vir. Biasa aja banget malah."
"Lah terus lo kenapa jadi kayak orang kesetanan gini? Emang lo punya cara khusus supaya bisa buka hati dia?"
"Nggak."
"Ya kalo lo gini-gini aja terus. Ya akhirnya sama aja. Jalan yang sama, ujung yang sama."
"Iya. Lo bener. Gue cuma lagi memutuskan aja gue akan ngapain."
Di satu sisi aku berpikir, jika aku bertahan, menunjukkan padanya betapa berartinya dia bagiku, mungkin suatu hari nanti dia akan luluh. Atau justru muak denganku. Ya bisa saja. Namun di sisi lain aku pun mulai ragu. Ragu bahwa ini hanya permainan nafsu untuk memilikinya. Memiliki pria ceklist 9 itu. Dengan dalih bahwa cinta harus diperjuangkan. Meski lantas berbenturan dengan prinsipku yang mengatakan bahwa cinta itu adalah bagi yang telah disatukan Tuhan. Ketika belum ada ikatan apapun di depan-Nya, maka tak layak cinta itu memenuhi langit jiwa. Maka tabu rasanya jika aku berani menyebut perasaan ini cinta. Lalu apa namanya?
Dalam renungan malam ini. Menutup hari dengan keberhasilanku. Ibarat harus melepas ikatan tali tambang yang mengekang. Pada akhirnya aku menyerah juga, kehabisan tenaga. Seperti itu hari ini. Kupaksa mengikat jari-jariku untuk tak mengirim pesan ke nomornya, kupaksa mengikat mataku untuk tak berkeliaran mencari bayangnya. Dan aku berhasil! Lalu setengah sadar kusimpulkan bahwa aku ingin menjaganya saja. Menjadi tak penting untuk memiliki ketika puncak tertinggi dari perasaan ini adalah menjaganya.
Tapi nyatanya itu semua hanya bertahan seminggu. Bahkan bukan 7 hari. Hanya 6 hari. Dan canduku mulai menggeliat kembali. Mengirim pesan "selamat pagi" sebelum jam 8 setiap harinya. Mengganggunya dengan beberapa kalimat di sela-sela jam kantornya. Ia memang membalas. Tapi sungguh sangat singkat. Bahkan operator telepon sekalipun tak pernah membalas sesingkat itu. Aku jadi berpikir, apakah aku ini benar-benar mengganggunya? Toh dalam kurun waktu 6 hari saat aku mencoba menghilang itu nyatanya tak sekalipun ia menghubungiku. Aku benar-benar tak cukup berarti untuknya. Lalu untuk apa aku bertahan.
"Seneng banget sih nyiksa diri sendiri." Kembari Vira berceloteh dengan nyinyirnya.
"Gue cuma berpikir kalo gue bertahan mungkin gue akan mampu membuka hatinya. Gue hanya perlu sabar mungkin,Vir."
"Sabar untuk?"
"Sebelumnya gue pernah,Vir. Karena gue nggak sabar, gue ninggalin seseorang yang saat itu sedang berusaha membuka hatinya untuk gue. Gue nggak mau kayak gitu lagi,Vir."
"Yas, sumpah gue speechless! Apa perlu gue aja yang tanya sama ni laki ya. Dia maunya apa sih."
"Kok lo emosi gitu sih Vir?"
"Ya menurut lo wajar nggak kalo gue nggak emosi liat temen gue kayak kesambet jin apa entah sampe nggak bisa mikir laen selaen tu laki?"
"Dia nggak salah, Vir..."
"Ya gue tau."
"Gue bahkan membenci diri gue sendiri yang nggak bisa sebentar aja ngebuang dia dari otak gue. Apa-apa tuh kepikiran dia,Vir. Mana dia lagi sakit pula. Masa' iya tiba-tiba gue ngilang lagi?"
"Lo nggak ngilang,Yas. Lo hanya berhenti untuk nggak kirim whatsapp ke dia. Kalo kalian ketemu, ya lo sapa aja."
"Susah. Karena sekali gue liat dia, tu seperti mengembalikan jutaan kuntum bunga yang mengelilingi gue dan menebar harum harapan."
"Lo cuma lagi sakit,Yas. Sakit jiwa! Orang jatuh cinta ya gitu. Suka ilang kewarasan!"
"Jadi gue harus apa?"
"Lo kalo mau nyiksa diri lo, jangan tanggung-tanggung,Yas. Dengan lo masih chattingan sama dia, gue tau lo sakit, tapi tu jadi kayak orang sakau. Sembuh bentar aja setelah baca balesan dia, udahnya lo ketagihan lagi. Nggak sembuh-sembuh beneran lo,Yas. Kalo mau, sekalian aja lo hapus nomornya. Lo pake kacamata item ke kantor, lurus aja pandangan lo jangan sampe liat dia."
"Asli tu nyiksa abis, Vir."
"Udah,Yas. Udah cukup." Vira menepuk pundakku lalu berlalu meninggalkanku yang belum mengambil keputusan apapun.
Sekejam inikah rasanya? Dia baik kok. Dia sopan. Dia santun. Dia menghormati aku. Hanya saja dia memang belum menjatuhkan hatinya untukku. Lantas untuk apa aku menghindarinya? Apa aku terlalu mengusik hidupnya? Ia tidak mengiyakan pertanyaanku itu.
Aku hanya akan pergi, ketika ia yang meminta. Demikian aku selalu menggumamkan kalimat itu di benakku. Meski kini aku kembali menggunakan sedikit bagian otakku yang masih sadar ini untuk berpikir bahwa mungkin Vira benar. Aku hanya perlu menjaganya, tak perlu kecanduan berupaya untuk memilikinya. Tapi, apa aku mampu?
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H