Meski sejujurnya aku lupa pastinya kapan. Sehari sebelum lebaran atau malam takbiran. Aku benar-benar lupa. Karena bagiku itu tak penting. Yang jelas saat itu aku yang memang rada kurang sabar, terus saja memancingnya untuk berterus terang tentang posisiku di hatinya. Dan ia yang memang penuh pertimbangan itu pun menjawab akan menyampaikan isi hatinya sepuluh hari ke depan. Ah dunia, coba kau pikir! Bahkan menunggu lima menit saja itu sangat menyiksaku, bagaimana dengan sepuluh hari? Maka tak gentar aku untuk menyusun strategi pembobolan isi hati. Akhirnya meski lewat ketikan henpon, aku berhasil melihat isi hatinya yang tetap dengan malu-malu ia perlihatkan padaku. Aku senang. Senang karena Yusuf telah berbalik menghampiri Zulaikha.
Selanjutnya apa? Terang saja aku ingin segera menikah. Bukan karena nafsu. Tapi kembali kucoba luruskan niat karena-Nya. Bukankah menikah itu bernilai separuh agama? Ya aku mau itu. Aku ingin menggenapkannya bersama “Yusuf”-ku. Sebagaimana Yusuf dan Zulaikha yang semakin baik dan berkah setelah menikah dan mengarungi kehidupan karena Allah saja.
Inilah indah. Ketika kata kehilangan makna. Ketika waktu kehilangan harga. Ketika niat diluruskan. Ketika semua dikembalikan kepada-Nya. Ketika Ramadhan menjadi jawaban. Dan akhirnya aku hanya tinggal menanti lamaran resminya lalu ijab qabulnya dengan ayahku. Rabbi, tolong mudahkan. Dekatkan dan segerakan jodohku, kalau bisa dia. Jagalah cinta kami agar tak melebihi cinta kami pada-Mu. Jauhkan kami tipu daya setan. Dan buatlah kami ridho ikhlas menerima segala ketetapan-Mu.
_atrny_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H