“I’m so sick of running as fast as I can, wondering if I’d get there quicker if I was a man,”
Taylor Swift, dalam lagunya 'The Man', berteriak dengan lantang dan jelas mengenai ketidakadilan yang Ia alami sebagai perempuan di industri musik—atau pada kehidupan umumnya—dimana Ia bahkan dikecam untuk melakukan hal sekecil apapun di saat para rekan kerja pria-nya dipuji ketika melakukan hal yang sama. Nona Swift, seperti yang diketahui, sudah lama memendam rasa kekecewaannya akan segala prasangka buruk dunia padanya dan berakhir dengan merilis lagu yang membanggakan ini. Kita menyaksikan sendiri bagaimana rentetan ujaran kebencian yang diarahkan kepada wanita berumur 32 tahun ini beberapa tahun silam. Taylor Swift difitnah, dikhianati, dan yang paling parah, wanita ini dihujani ujaran-ujaran misoginis yang tidak masuk akal dan pasti berbekas selamanya dalam kehidupannya.
Kejadian Taylor Swift ini bisa menjadi bukti bahwa menjadi seorang perempuan di dunia ini memang bukanlah hal yang mudah. Walaupun menjadi perempuan adalah sebuah kodrat yang diberikan oleh Tuhan sejak lahir, bukan berarti bahwa segala diskriminasi dan hal buruk yang terjadi pada perempuan adalah hal yang bisa dibiarkan seolah-olah hal tersebut adalah normal adanya. Kaum perempuan, yang sudah sejak Tuhan-tahu-kapan mengalami segala macam bentuk diskriminasi ini, justru dibungkam erat-erat demi terpenuhinya citra masyarakat “ideal” yang sudah dibangun sejak Tuhan-tahu-kapan juga. Perempuan yang seharusnya setara dengan para pria di luar sana—sebagaimana dengan maksud Tuhan menciptakan keduanya—justru malah tidak pernah diperlakukan dengan adil dengan aturan-aturan yang membelenggunya.
Buntut dari diskriminasi ekstrim panjang yang diterima para perempuan ini berada pada titik dimana perempuan tidak dapat melakukan aktivitas normal—atau setidaknya, itu yang dipikirkan oleh kami—tanpa mendapat pandangan penuh kebencian dari mata masyarakat. Seakan-akan kami adalah sebuah objek, dan bukan seorang manusia sungguhan yang berhak untuk mendapatkan kebebasan—untuk berpikir, beraktivitas, bahkan berjuang untuk dirinya sendiri. Benar bahwa emansipasi perempuan sudah diperjuangkan sejak berabad-abad lalu oleh jutaan pejuang perempuan itu seakan-akan tidak ada artinya jika kita melihat kembali kepada kehidupan nyata di masyarakat dewasa ini. Seolah-olah, ribuan goresan kata dari tinta yang ditorehkan R.A Kartini hampir seabad lalu tidak ada gunanya melihat kita masih dikelilingi oleh seluruh pandangan rendah jika para perempuan ini mengaum untuk merebut haknya yang direnggut oleh dunia patriarki ini.
Beberapa pekan lalu, saya berkesempatan untuk menonton film ‘Yuni’, yang dengan tragisnya membeberkan realita yang ada di sekitar kita mengenai wanita. Yuni, sang tokoh utama, hidup di daerah pinggiran kota dengan masyarakatnya yang masih sangat konservatif. Yuni yang pintar, polos, dan belum menamatkan pendidikan SMA-nya, menerima lamaran yang jelas tidak Ia sukai, hingga dua kali. Dunia konservatif yang disajikan di film ini menyesakkan bagi siapa saja perempuan yang menontonnya. Bagaimana tidak? Dunia yang kita anggap selama ini tidak ada—atau berpura-pura untuk tidak menyaksikannya—ternyata, lebih ganas dari bayangan kita. Perempuan yang selalu dijadikan objek, perempuan yang dikekang, perempuan yang tidak punya pilihan, perempuan yang, sedihnya, tidak bisa bermimpi setinggi langit, disajikan dalam film ini. Yuni adalah salah satu dari jutaan suara di dunia ini yang bisa tersuarakan dan berhasil membuka mata orang-orang mengenai takdir kejam yang menimpa perempuan dari lingkungan konservatif ini. Namun bayangkan, ada berapa Yuni-Yuni di luar sana yang menderita dalam diam berharap akan sebuah keajaiban yang dapat menyelamatkan hidupnya?
Tidak berhenti sampai kasus ‘fiksional’ Yuni saja, jika kita telisik lebih mendalam pada kejadian sebulan terakhir yang bersangkutan dengan perempuan, mungkin perkataan saya tentang kejamnya dunia patriarki ini benar adanya, bahkan melampaui apa yang bisa kata-kata ungkapkan di atas kertas. Kita bisa memulai dengan kejadian pelecehan seksual terhadap anak kecil yang justru dianggap bukan sebagai pelecehan oleh pihak berwenang. Lalu, ada pencabulan pemilik pondok pesantren terhadap santrinya hingga kejadian beberapa hari lalu dengan negeri Paman Sam dan pencabutan hak aborsinya.
Taylor Swift, Yuni, dan banyak perempuan-perempuan di luar sana setidaknya pernah sekali seumur hidup mereka merasakan dampak dari lingkungan—yang mau tidak mau kita harus akui ini—patriarki. Lantas, yang menjadi pertanyaan utamanya setelah semua ini adalah, bagaimana kita bisa menghapus seluruhnya ‘budaya’ ini? Lalu, apakah benar bahwa kita dapat menghapus ‘sistem’ ini sampai ke akarnya?
Menurut saya, hal tersebut akan menjadi sangat sulit untuk ditempuh. Menumpas sebuah dunia kotor yang tidak pernah lepas dari kehidupan kita adalah hal yang hampir mustahil—bukan berarti tidak bisa. Akan ada banyak pengorbanan dan perjuangan yang sangat kuat untuk mewujudkan dunia utopis tersebut. Akan butuh waktu yang tidak sebentar, dan pastinya, tidak akan tercapai di generasi kita saat ini. Tapi saya yakin bahwa suatu saat nanti, luka-luka lama perempuan-perempuan di dunia ini bisa tersembuhkan dan budaya ini bisa hilang di telan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H