Layan, seorang gadis sederhana yang tinggal dan lahir di Gaza pada tahun 2005. Â Sejak ia lahir, Jalur Gaza telah dikepung dengan ketat. Listrik hanya menyala 8 jam sehari, air yang diminumnya tidak layak dikonsumsi, dan udara yang dihirupnya tercemar karena kepadatan penduduk. Populasi yang tinggi, yang dianggap tertinggi di dunia, dengan 2 juta orang yang tinggal di wilayah seluas 360 kilometer persegi, hidup di tengah-tengah masyarakat dalam keadaan damai dan tidak nyaman selama 18 tahun. Tetapi itu hanya sementara, karena Layan tidak tahu kapan ia dan keluarganya akan dibom oleh pendudukan Israel.Â
Dia sudah terbiasa dengan pemandangan kehancuran, pengeboman, dan pembunuhan. Dia sudah mengalami masa lima perang selama 18 tahun sehingga dia terbiasa dengan suara ledakan serta suara pesawat tempur yang tidak meninggalkan langit Jalur Gaza selama 24 jam sehari. Pada tahun 2023, Layan lulus dari sekolah menengah atas dengan nilai rata-rata 98,8/100, dan memutuskan untuk masuk ke jurusan teknik. Setelah satu atau dua minggu kuliah dimulai, terjadi genosida di Jalur Gaza. Dalam dua hari pertama perang, listrik, air, dan makanan terputus sama sekali dari Jalur Gaza, dan semua penyeberangan ditutup.Â
Kemudian tentara Israel mulai mengancam daerah pemukiman tempat Layan tinggal. Layan tidak ingin keluar bersama keluarganya karena dia tidak ingin meninggalkan rumah dan kenangannya. Sayangnya, terjadi pengeboman intens. Daerahnya diserang, memaksa dia, ibu, saudara perempuan, dan saudara laki-lakinya untuk pindah ke rumah kakek mereka, yang berada di daerah lain di Gaza. Â Mereka semua tidur dalam satu ruangan sehingga jika rumah itu dibom, mereka semua akan mati bersama dan tidak ada satupun dari mereka yang terus meratapi kepergian keluarganya. Mereka tidur dengan suara bom yang tidak berhenti sepanjang malam. Hal ini tetap terjadi selama 10 hari, teror juga terjadi terus menerus. Sedangkan anggota keluarga lainnya, ayah dan dua saudara perempuannya, sedang berada di luar negeri dan mereka menjadi pengungsi.
Setelah 10 hari berlalu, tentara Israel mengancam daerah di mana rumah kakek Layan berada. Layan dan keluarganya dipaksa untuk pindah ke selatan di bawah rentetan bom Israel di sepanjang jalan. Pemandangan orang-orang yang melarikan diri ke selatan begitu menakutkan sehingga dia merasa seperti akhir dari dunia. Â Ketika Layan dan keluarganya tiba di rumah kerabatnya di selatan, mereka tinggal bersama kerabatnya sekitar 70 orang di sebuah apartemen kecil. Lambat laun makanan mulai habis. Air diisi dengan susah payah, setiap hari mereka harus mengangkut 20 tong dari bawah ke permukaan. Setelah 15 hari berlalu sejak perang dimulai, internet benar-benar terputus dari Jalur Gaza.Â
Sejumlah pengungsi yang lain ada yang tinggal di sekolah, di jalanan, atau di tenda-tenda. Keadaan mulai menjadi semakin sulit dari hari ke hari. Kondisi Layan jauh lebih baik meski dia hidup dalam kondisi yang sangat sulit. Ia biasa pergi ke toko roti pada pukul satu pagi untuk mengantri demi mendapatkan sekantong roti. Setidaknya dia bisa  memberi makan keluarganya. Situasinya tidak berlangsung lama, toko-toko roti kehabisan tepung, dia terpaksa pergi dan membeli sekantong tepung dengan harga yang paling mahal demi memanggang roti untuk keluarganya. Selama periode tersebut, pengeboman menjadi semakin brutal dan biadab. Jumlah orang yang mengungsi meningkat dari hari ke hari, hingga bencana terbesar datang ....
Tentara Israel telah mengancam seluruh wilayah selatan Jalur Gaza dan memaksa orang-orang  untuk berpindah dari selatan ke ujung selatan, dekat perbatasan, dengan tujuan mengusir mereka secara total dan membuat mereka menjadi pengungsi di negara-negara tetangga. Sementara itu, tentara Israel melakukan pembantaian terhadap warga sipil setiap harinya di tengah-tengah keheningan dunia internasional.Â
Layan berada di wilayah regional yang menjadi tempat pembantaian. Di sini, Layan terpaksa mengungsi untuk ketiga kalinya. Tragisnya, ada beberapa teman Layan yang terpaksa berpindah-pindah 10 kali dari satu tempat ke tempat lain. Layan kini tinggal di sebuah tenda kecil bersama keluarganya di dekat perbatasan selatan dan hidup dalam kondisi buruk. Bisa dibayangkan bahwa tidak ada makanan, obat-obatan, atau perawatan. Kakaknya menderita Down Syndrome, detak jantungnya lemah dan memiliki kepekaan yang tinggi. Selama ini mereka menderita kedinginan dan kelaparan yang ekstrim. Bagi mereka yang bertanya tentang Layan sekarang, dia baik-baik saja, tapi mungkin tidak dalam 5 menit, atau setengah jam, atau satu jam, atau besok, atau bahkan lusa, karena pengeboman itu tidak berhenti pada warga sipil seperti dia.
Kisah ini terinspirasi dan didasarkan pada peristiwa nyata yang terjadi selama beberapa hari dan bulan sebelumnya. Dalam cerita ini, menggambarkan sekilas kehidupan seorang warga sipil di Gaza bernama Layan. Ada banyak orang yang hidup dalam keadaan yang jauh lebih sulit darinya. Ada yang seluruh anggota keluarganya meninggal dunia, ada yang terluka dan menjadi cacat, ada yang kehilangan nyawa, serta ada yang kehilangan anggota tubuhnya. Kisah Layan dianggap sebagai salah satu kisah paling tidak tragis yang pernah dan sedang dialami oleh warga sipil Palestina di Jalur Gaza.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H