Ada pepatah bilang hidup ini bagaikan roda yang berputar. Kadang berada di atas dan kadang berada di bawah. Pepatah ini ada benarnya bila melihat peristiwa akhir-akhir ini. Terutama melihat apa yang terjadi di Istana kemarin.
Seperti telah diketahui bahwa kemarin SBY bertemu dengan Jokowi di Istana. Entah apa embel-embel yang dipakai SBY saat itu, yang pasti posisi SBY sedang ada di "roda bawah". Berbeda ketika menjelang Pilpres saat Jokowi yang bertandang ke Istana. Kala itu, posisi SBY masih berada di "roda atas".
Banyak yang berspekulasi tentang kepentingan SBY "kembali" ke Istana. Sebagian besar berpendapat bahwa SBY sedang membawa Panji Demokrat di tangannya. Meski info resminya mengatakan bahwa SBY ke Istana dalam kapasitasnya sebagai Chairman Global Green Growth Institute (GGGI), sebuah organisasi lingkungan hidup yang bermarkas di Seoul, Korea Selatan.
Jika pun demikian halnya, benarkah SBY tak berbicara politik sama sekali dengan Jokowi?
Sudah jadi berita hangat kalau SBY merasa dikhianati oleh Golkar perilah Perppu Pilkada. SBY berdalih bahwa telah ada deal soal Perppu Pilkada dengan syarat Demokrat menyetujui paket Pimpinan DPR versi Koalisi Merah Putih (KMP) saat itu. Namun nyatanya setelah Munas Golkar usai, gaung penolakan Perppu Pilkada dari KMP semakin nyaring suaranya. Di titik inilah SBY menilai telah dibohongi dan kecewa berat.
Tidak hanya itu, SBY bahkan menginstruksikan partainya agar segera merapat ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH) demi mendukung Perppu Pilkada. Pernyataan inilah yang membuat publik menilai bahwa kedatangan SBY ke Istana tak lain dan tak bukan menyangkut soal peta perpolitikan di Indonesia.
Mengapa demikian? Sebab posisi tawar Demokrat di DPR memang cukup seksi. Dengan perolehan 61 kursi kiblat DPR bisa berubah dari KMP ke KIH. Sebelum ini KMP sudah menguasai 353 kursi total dari gabungan enam partai di DPR sedangkan KIH hanya kebagian 207 kursi dari total empat partai di DPR. Bila Demokrat pindah haluan, ditambah dengan PPP yang lebih dahulu merapat, maka komposisinya akan menjadi 253 kursi buat KMP dan 307 kursi buat KIH.
Maka dengan perhitungan seperti ini SBY bisa balas dendam ke KMP andaikata masalah Perppu Pilkada sampai deadlock dan mengharuskan voting anggota DPR. Jika skenario ini terjadi, punya implikasi besar terhadap kelanjutan demokrasi di Indonesia. Sebab kita semua tahu bahwa kubu KMP amat menggebu-gebu mengusulkan bahwa Kepala Daerah cukup dipilih oleh anggota DPRD saja. Dengan kata lain tidak ada lagi sistem pemilihan langsung; matinya demokrasi di Indonesia.
Walaupun poilitik sulit ditebak arahnya, akan tetapi kita wajib berharap akan keberpihakan SBY trehadap agenda demokrasi di Indonesia. Dengan kartu truf yang ia punya tak salah rasanya bila berkata bahwa nasib demokrasi kita ke depan akan bergantung di tangannya. Keputusan buruk di masa kini akan ditanggung pahitnya oleh generasi masa depan. Dan sejarah akan terus mengenangnya.
Ayo, tunjukkan warnamu Jenderal!