Mohon tunggu...
nasri kurnialoh
nasri kurnialoh Mohon Tunggu... STAI Haji Agus Salim Cikarang

Nasri Kurnialoh lulusan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogakarta. Alumni Pondok Pesantren Di Tasikamalaya dan Yogakarta. Saat ini saya sangat bersemangat untuk mengabdi kepada agama, nusa dan bangsa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Problem Konversi Zakat Fitrah

18 Maret 2025   15:00 Diperbarui: 18 Maret 2025   13:30 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Substansi zakat fitrah adalah memberikan makan para asnaf. Cara makan setiap bangsa berbeda, ini memicu perdebatan sengit. Sejak dulu fukoha punya pandangan beragam. Di hadits diwajibkan zakat fitrah dengan pilihan kurma atau gandum, tentu saja perlakuannya beda. Kurma adalah bahan pokok makanan yang langsung bisa dimakan sedang gandum harus melalui proses. Takaran atau timbangan keduanya pun berbeda, tidak bisa disama ratakan. Kurma lebih berat sedang gandum lebih ringan. Apalagi konversi ke beras tentu beda dari sudut perlakuan juga takaran. Apalagi nambah rumit saat punya tafsir baru tentang ukuran sha' dan mud-nya. Konversi ke gram pun tak mudah. Yang lebih problematik adalah perdebatan konversi ke qimah atau harga uangnya. Bagi syafi'iyah sudah fiks tidak boleh. Alasannya jelas, zakat fitrah untuk makan ya harus bahan pokok makan. Diuangkan akan kehilangan fungsinya. Ini beda dengan ulama Hanafiah. Uang lebih mudah dikonversi ke bahan makan sesuai kebutuhan asnaf. Uang lebih fleksibel untuk digunakan apapun. Mungkin uang bisa dibelikan pada hal di luar bahan pokok makanan, tapi itu tak masalah toh zakat fitrah sama substansinya dengan zakat lainnya. Ada asnaf yang bukan hanya melulu fakir miskin yang ukurannya perut saja. Paham ini pun beberapa diikuti madzhab Syafi'i seperti Iman Rayani dengan syarat jangan talfiq. Artinya harus mengikuti keseluruhan fikih jangan campur-campur. Untungnya, dalam konteks kita, fikih besaran zakat fitrah dan qimah telah ditentukan oleh Baznas, sehingga perdebatan besaran dan konversi qimah sudah selesai. Tak usah diperdebatkan lagi. Ikuti imam, titik. Selesai. Cuma masalah baru muncul. Saat beda bayar zakat fitrah oleh beras dan uang, di lapangan tidak mudah. Saat qimah ditetapkan dengan standar harga beras tinggi misal Rp. 15.000, maka konversi itu tak berguna saat beras itu dijual kembali. Ada penurunan harga yang tajam karena status beras zakat sangat berbeda dengan beras jualan pasar. Ada anggapan beras zakat itu murah padahal penentuan qimah menggunakan harga tinggi. Mungkin karena amil mencampur adukan semua kualitas beras di satu wadah maka penilaian kualitas beras jatuh di paling jelek. Maka jadi murah. Apalagi berlaku hukum ekonomi supply and demand. Jika supply banyak maka penawaranpun rendah. Semakin barang melimpah maka harga semakin menurun. Artinya harga beras zakat saat beli tak akan sama saat menjual. Nilai nominalnya tidak sama, standarnya juga tidak ada. Hal ini akan jadi masalah pelik. Karena jika zakat itu didistribusikan bertingkat vertikal seperti layaknya pemerintahan di tingkat kelurahan, kecamatan dan kota maka data prosentasenya akan berubah. Jumlah beras yang dihitung angka pembelian akan menjadi "gejlok" saat dihitung angka penjualan. Mending kalau harganya tidak terpaut jauh misal jadi Rp. 13.000, ada dua ribu yang hilang tapi kalau harganya jadi Rp. 9.000 atau Rp. 10.000 maka akan ada nilai yang hilang lebih dari 50%. Si sinilah akan ada kerumitan amil untuk mengelola, apakah jual atau bagikan berasnya tanpa melihat fungsi asnafnya. Beras tentu saja cocok untuk fakir miskin. Ukuran miskin sering dikaitkan dengan kemampuan makan. Jadi, beras harusnya disampaikan untuk fakir miskin. Jika tak ada beras, maka uang pun bisa diberikan pada fakir miskin. Namun pada pokoknya, beras harus diprioritaskan bagi fakir miskin. Hal lain seperti asnaf fi sabilillah atau amil tidak melulu harus dengan beras. Misal sarana keagamaan tidak bisa dibarter dengan beras, maka uang adalah solusi. Asnaf ini harus diprioritaskan dengan uang dan akan jadi masalah serius jika dengan beras. Amil pun sejatinya lebih cocok dengan uang untuk pengganti operasional karena bayar bensin atau tenaga orang tak bisa langsung dengan beras. Uang lebih mudah ketimbang beras. Namun bagaimana jika pengumpulan zakat fitrah banyak beras daripada uang atau semuanya beras? Ya mau tidak mau asnaf yang harus dibayar uang harus mengambil uang dari penjualan beras. Nilai uangnya akan lebih rendah karena penjualan berasnya jadi bernilai lebih kecil. Di sinilah para pengepul beras jangan egois. Harga beras zakat jangan dinilai rendah. Momentum zakat jangan mendegradasi harga beras. Mereka mesti paham tentang penurunan harga beras berdampak pada nilai bagian di luar asnaf fakir miskin. Agar harga beras terjaga pun, amil harus paham mana beras berkualitas tinggi mana yang rendah. Tujuannya adalah agar beras tidak dicampur karena saat dicampur harga beras mengikuti kualitas yang lebih rendah. Maklum, pengepul kan nyari untung. Mereka untung, amil yang buntung. Boleh dong kali kali sama-sama untung?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun