Mohon tunggu...
nasri kurnialoh
nasri kurnialoh Mohon Tunggu... Dosen - STAI Haji Agus Salim Cikarang

Nasri Kurnialoh lulusan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogakarta. Alumni Pondok Pesantren Di Tasikamalaya dan Yogakarta. Saat ini saya sangat bersemangat untuk mengabdi kepada agama, nusa dan bangsa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Politik Kawin Paksa

29 Agustus 2024   21:02 Diperbarui: 29 Agustus 2024   21:02 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pilkada semakin panas. Setiap daerah tak bisa mereplikasi koalisi di pusat. Ada pihak di pusat bersatu, di daerah bermusuhan. Ada pula di pusat bermusuhan kebawa ke daerah karena ikut fatsun partai dari pusat. Konflik vertikal di bawa untuk menernak konflik horizontal di daerah. Segala sumber daya dikerahkan agar cerminan pusat bisa dibayang-bayang di daerah. Adu jotos elit pusat dijadikan tauladan jotos-jotosan di daerah. Masalah semakin pelik jika kondisi daerah tak sama dengan syahwat pusat, hingga sandra menyandra SK daerah dibedol dengan uang berinisial "M" dengan jumlah tak masuk akal. Politik transaksi jadi idola baru, politikus kini harus bermodal demi panen raya di tahun mendatang.

Bukan hanya uang, permusuhan pun adalah kekayaan baru. Saat kawin paksa yang tak ada cinta sebelumnya, demi menuntaskan syahwat, ya tak apalah. Tak tebayang si A masuk partai X, karena tak ada logika yang menyatukannya. Demi menuntas dendam, tak apalah. Tak terpikirkan sebelumnya partai Y dan Partai Z bisa berkoalisi dan sempat bermusuhan di masa lalu, kini berpacaran dan menuju KUA untuk mengesahkan hubungannya. Semua mata terbelalak karena aneh tapi nyata, ajaib abrakadabra. Kok begitu relanya kawin paksa tanpa lagi berpegang pada logika apalagi ideologi. Katanya "demi bangsa" padahal demi kuasa dan uang semata.

Jika politik sudah begini, rasanya semua partai sama. Mereka anti dinasti padahal politikus mana yang tak berdinasti? Katanya mengkritik MK, saat MK memenangkan maunya, dia diam dan memanfaatkan dengan seribu jurus untuk mencari peluang. Katanya sangat Islami, tapi mereka menjual agama untuk sekedar mencuri suara jelata. Katanya untuk membangun bangsa, nyatanya hanya bungkus untuk mengepul asa membobol APBN tanpa rasa dosa. Lantas, untuk apa Pilkada jika jalan lurusnya hanya imajinasi penuh jebakan. Untuk apa ada partai politik jika suara hanya berguna bagi perut buncit penjaja onani kuasa. Untuk apa ada mereka, jika hadirnya tak mengubah apa-apa. Untuk apa Kawin paksa demi syahwat mereka, jika beranak pinak kita akan menderita sepanjang masa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun