Contoh karya tulis ilmiah bidang nasab adalah tulisan KH Imadudin. Terlepas kontroversi, perdebatan dan keberpihakan, secara teoretik tulisan ini mengajari kita tentang berpikir ilmiah. Selama ini, ilmu nasab seolah redup dan dianggap tidak penting dalam dunia akademik. Namun, simpulan tulisan ini mengingatkan kita begitu signifikan dampaknya pada keyakinan kita. Tesis "tidak tersambungnya darah Bani Alwi serta seluruh klan di bawahnya pada Rasulullah membuat keraguan, keputus asaan atau keyakinan baru atas keyakinan lama dan sudah mengakar. Ia lahir dikarenakan cara berpikirnya yang menggunakan metode ilmiah dan bukan asumsi apalagi berawal dari kebencian.
Lalu, kenapa ini diyakini secara ilmiah. Klaim "ilmiah" tentu saja harus mengandung 4 konten utama: Pendahuluan, Metode, Temuan dan Pembahasan. (1) Pendahuluan dalam kasus nasab tentu dilatari banyak fakta, baik fakta sosial, fakta literatur, hipotesis dan argumen sebagai landasan menulis. Tema dalam pendahuluan tidak bisa berangkat dari sebuah keimanan yang sifatnya privat, bukan konsumsi publik. Jika saja klaim darah Rasulullah itu hanya sebagai keyakinan satu kelompok dan tidak diglorifikasi dihadapan publik, tentu ini tidak bisa jadi landasan untuk diteliti. Jika pun diteliti, ini akan menimbulkan keresahan dan tuduhan hasud, kebencian karena mengoyak ranah pribadi yang bukan konsumsi umum. Ranah pribadi dan imani biarkan mengalir sesuai arusnya.
Namun karena isu ini adalah penting dan sudah jadi ranah publik terutama berkaitan dengan syariat seperti tidak diperkenankannya zakat dan hak humus (seperlima) untuk ahlul bait, maka boleh saja diteliti. Apalagi banyak peristiwa sosial yang melahirkan perdebatan, polemik dan perselisihan yang melahirkan keraguan. Penelitian ilmiah tidak hanya berangkat dari ketidak tahuan, tapi berawal dari keraguan sehingga dibutuhkan pendekatan ilmiah untuk mencari kebenaran. Dukungan literatur awal akan melahirkan sebuah hipotesis dan berakhir pada sebuah argumen yang jadi pandangan penulis, ke mana arah tulisan ilmiahnya akan di gagas.
(2) Metode. Gagasan itu bisa benar jika alat yang digunakan pun tepat. Karena begitu banyak alat dalam dunia ilmiah maka pemilihan pun harus diuji agar tidak cacat ilmiah atau kesalahan metodologis. Dalam kasus nasab, metode ilmiahnya pasti dalam skup ilmu sejarah, khusunya ilmu nasab. Maka heuristik, kritik data dan historiografi adalah langkah utamanya. Dalam heuristik pun karena ini bagian kecil dari ilmu sejarah maka dokumen dan manuskrip nasab dibutuhkan. Tentu saja bukan manuskrip sejarah biasa, ia adalah manuskrip yang menjelaskan pohon keluarga dari awal hingga akhir. Dalam kritik pun manuskrip harus original, terverifikasi dan memiliki historiografi sejaman dan dibandingkan dengan manuskrip eksternal. Memang sulit jika tak ada manuskrip, bisa jadi tokoh historis yang benar-benar ada tapi jadi ahistoris atau fiktif saat manuskrip tidak ditemukan. Walaupun ada metode sukhro wal istifadhah dalam ilmu nasab, tapi jika tidak dituliskan ini sangat problematis. Masa sukhro atau mashur tidak ada yang menulis. Masa tersebar tapi ada yang kreatif untuk mendokumentasikan.
(3) Temuan atau finding. Data yang terkumpul harus benar-benar relevan. Sejarah Rasulullah melahirkan Fatimah Azzahra, lantas menikah dengan Ali KW dan memiliki anak Hasan Husein serta memiliki turunan sampai pada Ahmad Al Abah bin Isa al Rumi telah terverifikasi dengan literatur muktabarah. Baik dokumen internal maupun eksternal. Maka pohon keluarga ini mesti dilanjutkan pada cabang selanjutnya seperti pada Ubaidillah yang punya anak Alwi dan dari Alwi melahirkan banyak turunan hingga di sebut Bani alwi. Nah di sinilah data harus dijelaskan secara terperinci, kitab apa yang jadi landasan, apakah ada kitab sejaman, apakah ada dokumen eksternal atau jika dokumen itu lahir belakangan dan berabad-abad tak dituliskan maka apakah missing link ini bisa diterima? Atau jangan-jangan masa ini lebih primitif dari pada zaman sebelum Musa yang melahirkan Kitab Taurat?
(4) pembahasan. Saat temuan menunjukan data, baik pendukung maupun kontra maka tiba saatnya penulis menunjukan bagaimana data itu dikonstruksi menjadi simpulan. Premis minor dan mayor dibangun atas postulat-postulat yang ditemukan. Pikiran subjektif peneliti tidak boleh masuk pada ranah data, murni harus dari literatur nasab yang ditemukan. Setelah mempertimbangkan data dan mempertemukan berbagai perdebatan data secara objektif, maka lahirlah natizah (simpulan). Nah, simpulan itulah bernama tesis yang selanjutnya dibutuhkan antitesis untuk menuju sintesis.
Menjadi kesalahan akademik besar saat penulis menutup keran antitesis. Jika penulis mengatakan hasil penelitiannya benar absolut maka tesis ilmiahnya dipertanyakan. Dalam tradisi ilmiah, kebenaran-kebenaran teruji bisa diuji lagi dan dieksiminasi dengan berbagai sudut pandang. Kebenaran ilmiah tidaklah mutlak sehingga kebenaran itu bisa diperbaiki bahkan diruntuhkan oleh data-data lainnya. Di sinilah uniknya karya ilmiah, ia dinamis, elastis dan selalu menunggu karya lainnya. Tulisan ilmiah harus dijawab oleh tulisan ilmiah. Lihatlah Al Ghazali dan Ibn Rusdi. Dunia ilmiah tidak melahirkan cacian, makian dan diumbar di publik awam. Dunia ilmiah hanya dibunyikan di kalangan berilmu, dan proses penulisannya dibuat di ruang sunyi karena ruangannya penuh dengan data dan kaya makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H