Mohon tunggu...
nasri kurnialoh
nasri kurnialoh Mohon Tunggu... Dosen - STAI Haji Agus Salim Cikarang

Nasri Kurnialoh lulusan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogakarta. Alumni Pondok Pesantren Di Tasikamalaya dan Yogakarta. Saat ini saya sangat bersemangat untuk mengabdi kepada agama, nusa dan bangsa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berebut Pengaruh Ulama Nusantara Vs Habaib Yaman

16 Juli 2024   18:00 Diperbarui: 16 Juli 2024   18:03 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini berupaya untuk mencari benang merah sebuah pertanyaan: "Kenapa ulama dalam tubuh tradisi NU sekarang seolah berebut pengaruh?" Apa benar ini adalah upaya melemahkan NU dan berakhir pada pelemahan Indonesia? Apa ada grand desain luar yang tengah memantik Indonesia agar rakyatnya fokus pada perselisihan dan abai untuk kemajuan? Atau, apakah ini anugerah bahwa bangsa Nusantara diingatkan atas "penjajahan" gaya baru dari dimensi keagamaan dengan massifnya dakwah habaib dengan segala dimensinya?  Atau ini disengaja oleh politisi agar carut marut politik dilupakan sesaat? Atau benar Singapura dan Sekutu ingin Indonesia kacau dan tak maju?


Pertanyaan itu membuat saya mencari tahu dua perspektif berbeda dari perselisihan ini. Apa yang jadi soal dan bagaimana dampaknya. Pertama, bagaimana perspektif ulama Nusantara atas lahirnya dan begitu kuatnya habaib di Indonesia. Mereka berpandangan bahwa:

1.  Ada keterkaitan antara sejarah Habaib jaman Belanda dengan hari ini. Saat Snouck Horgronje menemukan titik celah untuk menghancurkan kekuatan Aceh dan Nusantara, maka didatangkanlah klan Ba'lawi dan non Ba'lawi ke Nusantara. Mereka dipekerjakan dan diberi tanah serta memiliki posisi bangsa kelas kedua bersama Tionghoa setelah bangsa Eropa. Tentu ini menguatkan mereka dalam struktur sosial politik saat itu. Pribumi kelas inlander di bawah mereka.


2. Saat Jepang mengalahkan Belanda, posisi strategis itu terancam. Mereka menyingkir dan mencari pegangan baru. Kaum Arab Non Ba'lawi telah mendirikan Al Irsyad sedang Ba'lawi mendirikan Rabithah Alawiyah (RA) tahun 1928. Keduanya berseteru tiada akhir. Organisasi ini adalah termasuk pergerakan kebangkitan nasional setelah pertemuan Jamiat al khoer yang melahirkan Muhammadiyah, NU dan seterusnya. NU sebagai representasi Islam tradisional mengakomodir ekosistem habaib dengan segala tradisinya sedang Muhammadiyah tidak. Dampaknya, NU menjadi rumah kedua bagi Ba'alawi di mana RA sangat ekslusif dan tidak menyentuh masyarakat nusantara akar rumput.


3. Melalui NU yang akomodatif, maka ekosistem habaib berkembang begitupun RA-nya. Dari sini rakyat lupa atas sejarah awal datangnya Ba'alawi ke Indonesia terlebih banyak kitab-kitab karangan Ba'alawi jadi kitab utama dan rujukan di pesantren-pesantren. Padahal, dahulu banyak fatwa terutama Fatwa Mufti Habib Usman bin Yahya yang membuat posisi Belanda diuntungkan untuk meringkus banyak ulama Nusantara. Perjalanan ini sangat diingat terutama oleh rakyat Banten dan Aceh. Namun semua itu diredam karena rumah besar NU mampu meredam demi NKRI. Padahal kerusuhan di berbagai daerah terjadi akibat fatwa ini.


4. Setelah kuat, RA dan Ba'alawi pada periode selanjutnya mencoba untuk memperkuat segala komponen eksistensi mereka. Salah satunya adalah dengan memunculkan nama-nama makam bermarga Ba'alwi di tanah-tanah keramat seperti makam Walisongo dan juga makam pahlawan. Tujuannya agar di masa depan eksistensi mereka tervalidasi sebagai ulama dan pahlawan Indonesia. Sangat banyak di antara makam itu kosong isinya tapi batu nisannya ditulis dengan berbagai klan Ba'alawi. Strategi ini jitu, generasi baru masyarakat Indonesia percaya atas maksm itu walau keulamaan dan kesejarahannya masih dalam proses publikasi. Bertahap saja.


5. Penguatan eksistensi paling strategis adalah membangun jejaring habaib dengan branding dzuriyah Rasulullah. Tentu sentimen inilah yang laku keras di masyarakat sehingga kelompok ini berhasil membius umat untuk masuk ke pusarannya. Dalam dimensi lokal, mereka membangun majelis-majelis, bisa majelis shalawat bisa juga majelis Rasulullah. Dalam dimensi kader, mereka mendirikan pesantren dan perkembangannya pesat, lihat saja Dalwa, Assidqu dan seterusnya. Mereka mulai bersaing dengan kiai-kiai besar NU dan masyarakat mulai terpecah. Waktu kecil di pesantren NU, saat besar lebih mengagungkan habib karena "darah Rasul" mengalir pada dirinya. Lebih lagi satu habib mendirikan ormas pergerakan Islam di luar NU, di situlah gong Habaib begitu meluas hingga desa-desa.


6. NU sebagai rumah besar dan pertemuan antar ulama Nusantara dan habaib diam. Lebih berperan sebagai patronase dari dua kekuatan ini. Hingga, para habaib generasi baru lebih leluasa untuk melancarkan "doktrin" kehabibannya. Dari sinilah awal konflik terjadi. Sentimen nasab Rasulullah yang selalu didagangkan mampu menyedot perhatian umat dan tak jarang kiai nusantara kalah telak. Ada banyak doktrin habaib diinfiltrasi sehingga seolah Islam yang valid dari mereka dan menegasi ulama nusantara. Yang lebih parah, habaib generasi baru ini menolak keturunan Walisongo sebagai Dzuriyah Rasulullah. Perseteruan mulai, klaim-klaim dzurriyah Rasulullah dibentangkan dalam berbagai forum.


7. Secara teologis, doktrin ini masuk ke wilayah yang sensitif. Di mulai dengan Syeikh Fakih Muqaddam yang dikultuskan sebagai Waliyullah dengan segala kehebatannya. Bahkan Ba'alawi menyetarakan Habib Faqih Muqaddam dengan Waliyullah Abdul Qadir Al Jaelani, seorang wali yang bagi ulama nusantara adalah sultannya para wali. Tentu ini menyakitkan bagi yang kontra tapi membanggakan bagi para habaib dan pengikutnya yang disapa muhibbin ini. Luar biasanya dalam beberapa doktrin disebutkan salah satu kehebatan habib adalah bisa memadamkan api jahannam jika saja tak malu sama Allah. Adapula disebutkan salah satu habib mampu 70 kali mi'raj ke langit. Yang paling sering didoktrinkan adalah: "Takan masuk surga jika tak melalui perantara habib. Satu habib bodoh lebih baik dari 70 ulama yang alim". Tentu ini mengejutkan umat saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun