Mohon tunggu...
nasri kurnialoh
nasri kurnialoh Mohon Tunggu... Relawan - Dosen STAI Haji Agus Salim Cikarang

Nama saya Nasri Kurnialoh. Saya lulusan jurusan pendidikan Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogakarta. Saya telah menamatkan pendidikan S.1, S.2 dan Pondok Pesantren Di Tasikamalaya dan Yogakarta. Saat ini saya sangat bersemangat untuk mengabdi kepada agama, nusa dan bangsa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Habitat Bahtsul Masa'i

24 Mei 2024   22:00 Diperbarui: 24 Mei 2024   22:01 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejak Rasulullah wafat, maka terhentilah informasi langit. Kehidupan terus berjalan. Fenomena dan peristiwa selalu tumbuh dan berganti. Kadang berulang seperti de javu kadang benar baru dan sulit mencari padanannya di masa lalu. Secara dasar, ilmu pengetahuan dan norma telah digariskan melalui kitab suci. Jika ada kesulitan makna langit lantas dibumikan dengan hadits. Jika pun mesti dijelaskan seterang benderangnya maka lahirlah qiyas dan ijtima ulama. Ulama yang fakih dan diakui keilmuannya, mereka melahirlah imam fikih yang jadi madzhab dan jadi kanal bagaimana ilmu langit dibumikan menjadi lebih praksis.

Lantas, saat jaman terus bergulir dan mekanisme hidup makin rumit, kepada siapa hukum itu disandarkan. Di sinilah Bahtsul Masa'il lahir. Agama secara prinsip adalah way of life, cara kita hidup. Hidup mesti teratur dan mesti mengikuti kaidah langit yang menciptakannya. Teks langit telah usai, begitupun utusan-Nya telah ditutup tapi masalah kian membludak. Hukum mesti dirumuskan dan fikih selalu jadi tujuan. Di sini pula kenapa agamawan selalu harus jadi "tafaqquh fiddin". Boleh ulama itu ahli bahasa, ahli tauhid, ahli falak, ahli retorika, tapi sejujurnya agama selalu berurusan dengan fikih. Di sini pula Bahtsul Masail (BM) punya posisi kunci.

BM punya tugas berat. Kurun Nabi, semua urusan ditanyakan pada Rasulullah. Selesai. Jaman sahabat, umat patuh pada amirul mukminin. Masa tabiin, begitu banyak ulama ul amilin yang jadi punggawa hukum "way of life" muslim. Kini? Ulama-lah memikul beban berat ini. Mereka mesti berkumpul, lantas membahas perkara diniyah (agama) dan waqiiyah (kontemporer). Semua masalah mesti diselesaikan oleh forum mereka. Absennya membuat umat bingung dan ragu. Ada stagnasi jika BM berhenti. Maka, ada pengulangan masalah karena bertambah variabel ada juga yang benar-benar baru yang mesti menguras energi untuk berpikir. Diskusi dan perebutan argumen disilahkan di forum ini, yang pasti harus reliabel (ajeug) dan bersanad.

Salah satu kekhasan BM adalah mengambil ibarot (premis dan reasoning bersanad) dari kitab kuning karya ulama tabiin tahun 500an. Sesungguhnya Quran dan hadits sebagai patokan dasar sudah mafhum dan jarang diperdebatkan. Pendapat dari ulama penulis kitab itulah yang sering diramu ulang. Para peserta BM mesti menyiapkan segudang ibarot untuk menjawab as'ilah (soal) dari sa'il yang divalidasi lembaga BM. Jual beli ibarot akan menjadi bukti kualitas peserta, pun jadi validasi kehebatan pesantren di mana ia dididik. Maka, pesantren yang fokus melahirkan ulama tafaqquh fiddin ini senanti mendesain kurikulumnya guna menjadi aktor utama BM ini.

Biasanya, para ulama jebolan pesantren khas ini sering berkumpul dan membuat jejaring. Komunitasnya sering dipercaya jadi mushohih (validator) dari perdebatan ibarot para peserta. Bahkan tak jarang, sebelum peserta BM bersitegang memperebutkan pendapat, mushohih telah berdiskusi terlebih dahulu menyusun rumusan jawaban. Artinya, mushohih telah mengumpulkan sejumlah ibarot yang disembunyikan dari peserta dan jadi kunci jawaban di akhir. Silahkan peserta berdiskusi secara random dan jika ada yang baru maka mushohih akan memasukannya. Jika tidak, maka dipastikan rumusan jawaban akan mirip hasil dari tim mushohih ini.

Di sinilah BM menjadi tradisi intelektual warga pesantren. Mereka discovery kitab-kitab tinggi isinya untuk mencari ta'bir yang lebih valid. Tentu setelah mendengar, menganalisa dan memahami dari ahli di bidangnya. Semakin literate dengan kitab yang berjilid-jilid dengan penulis muktabarah, maka semakin diterima ibarotnya. Mereka pun mesti belajar mantiq untuk merumuskan premis dan postulat hukum serta bagaimana menyampaikannya sesuai kebutuhan. Di sini ilmu nahwu-sharaf bukan lagi ilmu yang dikaji tapi ilmu dasar wajib. Baca kitab berbahasa Arab gundul haram salahnya, karena jika salah validitas kepesertaan BM dipertanyakan. Mereka mesti menunjukan kapasitas dan kapabilitas melek kitab kuning, karena sesungguhnya BM adalah beyond sekedar kajian Qur'an dan Hadits dari tradisi ulama-ulama besar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun