Mohon tunggu...
Nova Indra
Nova Indra Mohon Tunggu... wiraswasta -

Citizen Journalist

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Surat untuk Kekasih (1)

26 Maret 2013   19:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:10 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ingatkah kau, waktu itu aku pernah mengucapkan cinta?

Sembilan tahun lalu. Sejak saat itu, tak pernah lagi aku kenal perempuan selain namamu.

Tak pernah lagi punya harapan pada seseorang akan kasih sayang dan cinta.

Tapi itu waktu yang telah sangat lama. Bagimu, bukan buatku.

Menurutku, seperti baru kemarin aku ucapkan kalimat itu untukmu.

Inikah kegilaan yang kau anggap terjadi pada diriku? Tidak. Ini sebuah kenyataan hidup yang aku jalani, detik demi detik, hari demi hari, tahun demi tahun, setiap detik dari tarikan nafasku.

Aku masih sangat mencintaimu, Rhein. Tapi kau tak pernah bisa menerima kehadiranku. Dan sejak saat itu, sejak Sembilan tahun lalu, aku memilih hidup dalam kesendirian. Karena aku anggap, itu akan membuatku mampu melupakanmu.

Rhein….

Sejak hari itu, aku pergi dan menjauh dari semua orang yang aku kenal, apalagi dari orang-orang yang tahu, aku mencintaimu.

Hari demi hari kulalui bersama kerinduan untuk melihat senyummu.

Setiap langkah kakiku, tak pernah berhenti pada perumpamaan aku melangkah ke kotamu.

Rhein…

Tapi semuanya hanya hayalanku. Karena setiap langkah kakiku ada pada tebing-tebing terjal pegunungan, ada pada aliran-lairan mata air perawan di rimba belantara yang tak pernah dijejaki langkah kaki manusia.

Rhein…

Aku sedih saat itu, saat teman dan kawan-kawanku memetik setangkai bunga, yang akan mereka bawa turun dari gunung-gunung itu, untuk orang-orang yang mereka sayangi di bawah sana. Sementara bagiku, untuk apa dan buat siapa?

Rhein…. Semuanya kujalani tanpamu. Ketika seorang teman bertanya, apa yang aku cari? Aku jawab, ketenangan. Tapi aku ragu, Rhein. Apakah aku akan dapati ketenangan itu, tanpamu. Semua jawaban kuterka sendiri, dan berakhir dengan kata, ”mungkin.”

Rhein….

Hari-hariku berlalu demikian berat. Sedikit demi sedikit, aku dapat melupakanmu. Tapiapa dayaku, saat tak sadar aku kembali menyebut namamu, Rhein. Aku kembali pulang untuk sebuah namamu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun