Penulis --sejati-- kerapkali diuji dua hal: kemiskinan dan pengkhianatan. Soal kemiskinan, aku akan bercerita di hari yang lain. Sebab, cerita itu bisa panjang --berseri, mirip cerita bersambung (cerbung) atau bahkan bisa jadi buku cerita yang berjilid-jilid. Tapi, karena panjang aku yakin kayaknya tidak ada yang sanggup membaca tuntas. Masih untung jika ada yang mau baca, walau sedikit, bagaimana jika tidak? Wah, aku bisa rugi dua kali. Sudah capek menulis, tak dapat uang lagi. Jadi, siang ini aku memutuskan untuk menulis cerita "penulis yang diuji pengkhianatan".
Cerita ini aku dapatkan dari seorang teman. Temanku itu dapat cerita tersebut dari temannya. Temannya itu dapat dari temannya lagi. Temannya lagi dapat dari temannya lagi, hingga total ada sembilan perawi. Saat mendengar "cerita" ini, aku pun tidak begitu saja percaya. Aku lalu melakukan penelusuran, dan ternyata cerita ini valid dan bisa dipercaya.
Teman-teman yang kenal dekat dengan penulis satu ini menyebutnya penulis lucu. Sebagian lagi menyebutnya penulis yang kurang cerdas. Tapi bagiku, penulis ini tergolong tangguh dan mungkin layak dinobatkan sebagai penulis jujur. Soal pendapatku yang bisa beda dengan yang lain ini (kenapa aku menyebutnya penulis tangguh dan jujur), kalian akan mendapat jawabannya nanti di akhir cerita. Jadi, mohon sabar!
Dari cerita yang aku gali, penulis ini sudah menekuni dunia tulis-menulis selama sepuluh tahun. Dia menulis cerpen di koran, kadang menulis opini, kadang jika ada tawaran proyek dari departeman atau kementerian, dia diajak oleh temen-temennya --semata-mata bukan karena layak dipilih, tapi karena kasihan saja. Tapi tulisan yang dihasilkan, kerap kali kurang memuaskan oleh temen-temennya.Â
Akhirnya, salah satu temannya harus kerja 2 kali --mengedit habis-habisan, atau bahkan membongkar ulang. Reputasi kepenulisan penulis ini di media (rubrik cerpen dan opini) pun, cukup menyedihkan. Dari sepuluh cerpen yang ditulis, biasanya hanya satu atau dua yang dimuat. Itu pun di koran kecil atau lokal. setali tiga uang dengan opini yang ditulis.
Sebagian besar temannya pernah menasehati, atau lebih tepatnya meledek. "Sudahlah berhenti saja jadi penulis, mending jualan gorengan. Itu lebih praktis dan menguntungkan!"
Tapi, penulis itu diam. Dia pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Tentu, teman-temannya kaget, dan merasa ucapan itu menyakiti hatinya. Setengah jam kemudian, lucunya dia datang membawa bungkusan plastik. Teman-temannya kaget, lebih kaget lagi saat bungkusan itu dibuka, ternyata isinya gorengan (ada tempe, tela, pisang goreng dan lain-lain). Sontak, gorengan itu pun diserbu. Dalam sekejab, gorengan itu habis.
"Apa yang tersisa dari gorengan ini?" tiba-tiba penulis itu melontarkan secuil pertanyaan yang membuat temannya hanya bisa melongo. Tak menjawab apa pun, karena habis. Ludes. Tak tersisa. "Paling-paling hanya bisa mengganjal perut kalian satu, atau dua jam. Setelah itu, kalian pergi ke toilet dan buang hajat. Hilang apa yang sudah kalian makan. Jadi, kalian ini ingin aku membuat karya yang tak meninggalkan kesan dan kenangan?"
Semua diam. Peristiwa itu seharusnya membuat teman-temannya sadar, bahwa penulis ini memang gigih dan tak patah arang walau dia belum menjadi penulis terkenal. Tapi, sejak peristiwa itu, teman-temannya menjuluki penulis satu ini penulis lucu.
Dia pernah sekali menulis buku. Tapi semua penerbit yang disodori naskahnya, menolak dengan "kasar". Tanpa basa-basi. Akhirnya, untuk menghibur diri, dia menerbitkan buku secara indie --dijual ke teman-temannya, juga orang lain lewat facebook dan twitter. Lagi-lagi, teman-temannya membeli lantaran kasihan, bukan karena buku itu bagus. Tapi, dia tidak pernah berhenti belajar menulis.Â
Hingga suatu hari, dia mendapatkan tawaran menulis buku biografi seorang tokoh. Dia pun menerima tawaran itu lantaran proyek itu kelak diharapkan bisa menjadi jembatan yang mengantarkannya jadi terkenal. Tetapi tragis, tawaran itu tak ada kelanjutannya. Padahal, dia dijanjikan akan dikasih uang lelah 15 juta.