Mohon tunggu...
N Mursidi
N Mursidi Mohon Tunggu... profesional -

tidak siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jalan Panjang Kelahiran Buku "Tidur Berbantal Koran"

20 November 2013   10:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:54 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi setelah saya tunggu-tunggu, ternyata tidak ada kabar lagi. Padahal, tahun sudah berganti bahkan sudah memasuki bulan Mei 2012. Buku saya seharusnya sudah ada kabar akan terbit. Kenapa tak ada kabar? Saya pun menulis email ke editor yang bersangkutan tetapi jawaban itu bahkan tidak pernah saya dapatkan. Dan ironisnya, jawaban itu saya dapatkan justru dari orang lain. Saat itu, saya benar-benar terperanjat kaget, tepat pada pertengahan bulan Juni 2012, saya membaca status seorang teman di facebook yang menulis berita bela sungkawa. Dan orang yang ditulis meninggal itu, tidak salah lagi adalah editor penerbit Elex Media yang saya titipi naskah buku Tidur Berbantal Koran.

Saya benar-benar merasa kehilangan, dan sedih --meski pun saya belum pernah sekali pun bertemu dan berbicara melalui telepon dengan editor tersebut. Saya pun teringat, lalu bagaimana dengan naskah saya? Tak mungkin, saya menanyakan nasib buku saya hari itu juga ke penerbit Elex Media. Saya harus menunggu waktu. Akhirnya, tanggal 21 Juni 2012, saya pun menelepon Elex Media, dan disambungkan ke atasan editor yang pernah saya titipi naskah. Sungguh di luar dugaan saya, atasan itu sama sekali tidak tahu menahu naskah saya. Tapi, dengan baik hati, atasan editor itu memberi saya kesempatan untuk mengirim ulang naskah saya. Jadi, kalau dihitung-hitung, saya seperti mengajukan naskah dari awal lagi, dan harus antre.

Dua bulan tak ada jawaban. Saya pun merasa naskah itu tak akan diterbitkan Elex Media. Di tengah ketidakjelasan itu, saya pun berpikir pendek: saya ingin menerbitkan naskah itu sendiri. Tetapi, uang yang saya kumpulkan untuk menerbitkan buku tersebut, selalu saja masuk alokasi kebutuhan lain. Saya pun menceritakan perihal naskah itu kepada seorang teman yang punya percetakan, dan dia siap membantu. Bahkan, dia siap menerbitkan dan saya bisa membayar jika saya punya uang. Saya senang dan bahagia. Tapi, janji itu sekadar janji. Tak pernah dia memberikan jawaban lagi.

Saya pun pasrah dan berusaha melupakan naskah itu. Saya berusaha melupakan hingga selupa-lupanya! Tetapi di saat saya sedang melupakan naskah itu tiba-tiba ada email dari editor pengganti (dari editor yang saya titipi naskah). Email itu bahkan mengabarkan jika naskah buku Tidur Berbantal Koran sudah diedit dan saya diminta untuk mengoreksi. Meskipun sudah ada jawaban seperti itu, saya masih tidak sepenuhnya yakin naskah saya itu akan terbit. Saya mengoreksi, dan kembali melupakannya... Jika sudah jodoh, memang tak akan lari ke mana. Dan, naskah buku itu, akhirnya terbit tiga bulan kemudian --sejak saya mendapatkan email diminta untuk mengoreksi naskah Tidur Berbantal Koran.

Kini setelah melalui proses yang agak panjang, akhirnya buku Tidur Berbantal Koran itu terbit, 27 Februari 2013. Saya menulis buku itu tepatnya selama 3 Minggu (karena saya tak menulis saat pergi ke Belitung, berhenti setelah itu, serta sempat mandek ketika istri saya sakit), tapi saya harus menunggu selama tiga tahun untuk terbit. Lantas, bagaimanakah perasaan saya ketika buku itu terbit? Campur aduk. Seperti menunggu kelahiran anak yang lama tidak lahir, akhirnya lahir. Seperti menunggu kekasih yang akan datang di stasiun setelah ditunggu cukup lama. Setengah terharu dan tidak percaya...

Ironisnya, meski di halaman belakang cover depan buku saya mempersembahkan buku ini buat ibu saya, tetapi sampai saat ini, ibu saya tidak tahu tentang terbitnya buku ini. Ibu saya --sebagaimana saya tulis di halaman persembahan-- adalah "sosok tangguh yang tak perlu membaca buku ini --karena kisah ini adalah setitik dari genangan doa dan jerih payah beliau." Kenapa tidak perlu membaca? Karena ibu saya sudah lama sakit mata, dan hampir tak bisa membaca. Jadi saya yang seharusnya membacakan buku ini untuk beliau.

Saya masih ingat, setelah satu tahun saya belajar menulis dan "tidak ada" satu pun tulisan saya yang dimuat di koran, saya sempat "hampir" putus asa. Saya pulang ke kampung, dan memutuskan tidak akan balik ke Yogyakarta. Saya merasa perjuangan saya berat, dan tak perlu diteruskan. Saya hampir menyerah. Tapi saat di rumah itulah, saya seperti dibukakan mata oleh Tuhan untuk melihat perjuangan ibu saya. Pada sepertiga malam, ketika saya tidur dengan nyenyak, tiba-tiba saya seperti "mendengar" suara yang lembut dan halus menusuk ke telinga. Setengah sadar, saya seperti mendengar suara ibu saya. Saya membuka mata dan menoleh; mendapati ibu saya masih memakai mukena (usai shalat) tepat di kamar tempat saya tidur. Waktu itu, lamat-lamat, saya mendengar ibu saya berdoa untuk saya. Saya tak cukup jelas mendengar doa yang dipanjatkan ibu saya, tapi saya mendengar nama saya disebut, dan beliau meminta Tuhan untuk memberikan jalan lempang bagi masa depan saya.

Saat itu, saya menitikkan air mata. Saya yang merasa berjuang mati-matian, ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perjuangan ibu saya. Saat itu juga, saya memutuskan untuk balik ke Yogyakarta lagi, dan setiap saya ingat doa ibu saya itu saya seperti mendapatkan kekuatan baru. Maka buku ini, saya persembahkan kepada ibu saya. Sementara itu, untuk novel yang akan saya tulis ke depan, saya persembahkan kepada istri saya! Karena di buku ini, memang tidak ada kisah tentang istri saya, dan sepenuhnya adalah perjuangan tanpa lelah dari ibu saya.

Kini, setelah buku ini terbit, saya berharap pembaca bisa mengambil pelajaran. Saya hanya ingin berbagi, sebab tidak sedikit orang yang mengalami nasib seperti saya, harus berjuang untuk bisa kuliah. Itulah "harapan" saya kepada pembaca buku ini. Maklum, dari dulu, saya sering mendapatkan email yang mengisahkan kehidupan mereka tidak jauh dengan kehidupan saya, dan mereka ingin menulis. Karena itu, jika besok ada orang yang mengalami nasib seperti saya, dan dia ingin belajar menulis, saya hanya tinggal meminta dia membaca buku "Tidur Berbantal Koran". Jadi, buku ini adalah jawaban dari banyak orang yang bertanya kepada saya, dan ingin belajar menulis.

Setelah menerbitkan buku ini, penerbit yang dulu pernah meminta saya untuk menulis buku Tidur Berbantal Koran ini dan batal menerbitkannya, kembali menangih saya untuk menulis novel. Memang, saat ini saya sedang mengumpulkan data bahkan dalam waktu dekat ini akan melakukan riset ke Kalimantan untuk menulis novel berlatar belakang konflik Sambas 1999. Tetapi, ketika penerbit yang dulu meminta naskah ini kembali meminta saya mengajukan naskah novel berlatar belakang Sambas itu, saya hanya menjawab pendek... "Tugas saya --sebagai penulis-- hanyalah menulis, dan berusaha. Setelah itu, saya serahkan takdir: ke mana jodoh naskah itu akan terbit."

Jadi, itulah sekilas "perjalanan panjang" kelahiran buku Tidur Berbantal Koran ini. Semoga bermanfaat, dan memberikan inspirasi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun