Muhammad Zuhair Yahya
Di sebuah rumah kecil dengan ruang makan yang juga kecil, aku makan bersama dengan ayahku. Kami duduk berhadapan dengan jarak yang agak jauh. Sangat sulit untuk memulai sebuah percakapan, sehingga kami seringkali memilih diam satu sama lain. Yang kuingat, percakapan terakhir kami berakhir dengan perdebatan panjang yang akhirnya menjadikan jarak kursi kami semakin jauh. Hubungan kami sebagai ayah dan anak memang tidak cukup akrab.
Di rumah ini, aku tidak hanya tinggal bersama dengan ayahku, masih ada adik laki-lakiku yang umurnya bahkan belum sampai satu tahun. Sedang ibuku meninggal sesaat setelah melahirkan si bungsu ini. Dan sejak saat itu aku dan ayahku harus lebih berjuang lagi, bukan semata-mata untuk menghidupi si bungsu, namun untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga kecil tanpa sosok wanita perkasa seperti keluarga yang lain.
Ayahku berprofesi sebagai petugas keamanan di sebuah rumah sakit. Setiap pagi, ia selalu siap dengan seragam putihnya, dan segera berangkat setelah berpamitan kepadaku dan adikku. Saat itulah tugasku dimulai, mengurusi segala macam persoalan rumah tangga, termasuk keperluan adikku. Hal inilah yang membuatku memilih untuk tidak menggunakan gelar sarjanaku untuk mendapatkan pekerjaan kantoran. Hasilnya juga belum pasti, begitu pikirku.
Sore harinya ayahku pulang dengan wajah lesunya setelah seharian bekerja, makanan sudah tersedia di meja makan, dan adat saling diam saat kami makan di meja tersebut pun kembali terjadi. Hanya terdengar suara denting dari sendok dan mangkuk kaca yang saling beradu. Padahal, saat seperti ini merupakan saat yang paling tepat untuk saling bertukar gagasan dan bercerita pengalaman. Namun kami tidak, hingga makanan di dalam mangkuk kami habis.
Sore hari itu seperti biasa, setelah mangkuk ayahku kosong, aku mengambilnya, menumpuknya bersama dengan mangkukku lalu beranjak ke dapur untuk mencuci keduanya. Setelah ini selesai, tugasku pun dimulai lagi, begitu keluhku. Aku tidak tahan dengan kondisi seperti ini. Hingga selesainya mencuci, aku menghampiri ayahku.
"Besok aku pamit cari kerja saja, pak.." kataku, berubah pikiran.
Ayahku menunjukkan ekspresi terkejut. Dia memandangku dengan tajam, terlihat sekali maksudnya untuk 'menyemburku'. Makan bersama sore ini, lagi-lagi akan diakhiri dengan perdebatan hebat, begitu pikirku.
"Kenapa?" Tanyanya datar.
Aku sejenak diam dan berpikir, "aku capek, pak.." kataku. "Setelah aku mendapat pekerjaan nanti, gajinya kan bisa kugunakan untuk menyewa perawat bayi, sekaligus untuk mengurusi kegiatan di rumah sehari-hari.. jadi gak perlu repot kayak gini"
Setelah mendengar ucapanku, kami sama-sama diam. Ekspresi wajahnya pun terlihat semakin hendak 'menyerangku'. Ya, kita akan berdebat lagi, begitu pikirku.