Mohon tunggu...
Muhammad Meiza Fachri
Muhammad Meiza Fachri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional

Hit Harder

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Five Power Defence Arrangements: Relik Usang Perang Dingin?

13 Juli 2022   11:56 Diperbarui: 13 Juli 2022   12:02 1111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi India yang diproyeksikan akan menjadi salah satu negara superpower dunia. Sumber : www.medium.com

Didirikan pada tahun 1971, Five Power Defence Arrangements telah berhasil eksis dan bertahan selama puluhan tahun, bahkan 31 tahun setelah Perang Dingin berakhir. Mengikuti perkembangan zaman beserta perubahan tatanan dunia internasional, suatu pertanyaan krusial muncul.  Apakah FPDA masih memiliki relevansi atau fungsinya di era kontemporer ini ?

Salah satu "relik" peninggalan dari Perang Dingin adalah aliansi Five Power Defence Arrangements atau (FPDA). FPDA beranggotakan empat negara persemakmuran Inggris (Commonwealth), yakni Australia, Malaysia, Singapura, Selandia Baru, beserta Britania Raya selaku pemimpin persemakmuran. Mirip seperti NATO, FPDA memiliki prinsip "serangan terhadap satu anggota berarti serangan untuk semuanya" Namun, tidak seperti NATO yang mengikat setiap anggotanya, FPDA lebih fleksibel dan tidak mengikat, sehingga setiap anggota dapat sewaktu-waktu meninggalkan organisasi. (Min Zhang, 2021) (Nurdin Rahmat, 2013, hlm 1-3)

Pada awal berdirinya, FPDA memiliki tujuan utama untuk mempertahankan Malaysia dan Singapura yang saat itu baru saja merdeka dan tidak memiliki pertahanan mumpuni untuk melindungi diri mereka sendiri. Ancaman terbesar bagi FPDA sendiri saat berdirinya adalah penyebaran komunisme dan potensi invasi oleh Indonesia terhadap Malaysia dan Singapura yang sebelumnya sempat terjadi di bawah komando Sukarno melalui Operasi Dwikora.  (Nurdin Rahmat, 2013, hlm. 2)

Berakhirnya Perang Dingin, keruntuhan Uni Soviet, dan jatuh (menurunnya) Britania Raya sebagai salah satu hegemon dunia, ternyata tidak mengakhiri eksistensi FPDA. Munculnya Tiongkok sebagai kekuatan baru dan anggapan, bahwa masih adanya ancaman dari Indonesia dapat dinilai sebagai alasan utama yang dapat merekatkan keberadaan FPDA.

Ilustrasi kekuatan militer Tiongkok. Sumber :www.jcs.mil
Ilustrasi kekuatan militer Tiongkok. Sumber :www.jcs.mil

Akan tetapi, kembali kepada pertanyaan awal, apakah FPDA dapat mengatasi ancaman-ancaman tersebut ?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, terdapat tiga hal esensial yang harus dianalisis dalam FPDA, yaitu fungsinya, potensinya dan efektivitasnya.          

Pertama, fungsinya. Relevansi suatu hal akan berbanding lurus dengan fungsinya. Dahulu kala, kuda merupakan salah satu binatang paling penting bagi kehidupan manusia. Kudadapat berguna dalam banyak hal, kuda memberikan daging, susu, dan utamanya sebagai salah satu sarana transportasi manusia. Namun, munculnya kendaraan bermotor dapat menggeserkan relevansi ini, sehingga pada saat ini kuda tidaklah terlalu penting. Atau dalam bahasa kasarnya, kuda dapat "dienyahkan saja" dan  tidak akan terjadi perubahan signifikan pada dunia.

Berdasarkan analogi tersebut, maka FPDA harus tetap memiliki fungsi utama yang tidak tergantikan untuk dapat selalu relevan. Dalam hal ini, kembali kepada alasan utama berdirinya FPDA, adalah untuk mempertahankan negara-negara persemakmuran Inggris, terutama Singapura dan Malaysia dari potensi ancaman-ancaman keamanan terhadapnya. Saat ini ancaman terbesar bagi mereka adalah Tiongkok. (Dasgupta, 2022)

Fungsinya ini, dalam satu sisi masih relevan, mengingat sifat ofensif dan "agresif" yang dilancarkan Tiongkok pada dua dekade terakhir, terutama di wilayah Laut Tiongkok Selatan. (Dasgupta, 2022)  Namun, untuk ancaman militer dari Indonesia sendiri merupakan hal yang sedikit mustahil untuk dapat terjadi, track-record hubungan dan sikap Indonesia terhadap dunia internasional selama 20 tahun terakhir ini dinilai cukup baik. Dapat dilihat dari sikap Indonesia yang belum pernah terlibat konfrontasi dengan negara lain pasca reformasi dan sikap Indonesia yang terbuka terhadap resolusi konflik tanpa menggunakan cara-cara kekerasan. Contoh riil dari komitmen Indonesia ini adalah kemauan dan ketundukan Indonesia terhadap hasil keputusan ICJ mengenai kasus Pulau Sipadan-Ligitan dengan Malaysia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun