Hampir 2 minggu ini serasa ada konflik brathayuda di padang twitter di jagad Maya dari dua gerbong seteru blok Pilpres. Satu blok anti Jokowi, satunya pro.Â
Saya minimal 1 hari 2 kali mengecek mana yang menduduki peringkat di TTI. Kenapa? Ya, sekedar iseng. Kali aja ada argumen bagus yang ditandingkan. Yang ini jarang, sih. Terlebih, sebetulnya saya suka mencari kata atau kalimat lucu dari dua kubu itu dalam balutan hujatan dan caci maki.Â
Ya, perang hashtag pro dan anti Jokowi, sebenarnya tidak hanya Jokowi tapi juga Ahok, akhirnya semata jadi tontonan online dan penghibur semata. Masihkah ada sisan kesan tentang sebuah gerakan politik? Tidak sama sekali. Sama sekali jauh dari sebuah gerakan, itu minimal menurut saya.
Ini perwujudan klikaktifisme sejati dalam perkembangan teknolgi. Aktifisme yang benar-setia di jalur Maya yang tidak terkoneksi sama sekali dengan praksis lapangan.Â
Artinya, betapapun banyaknya twit yang menggunakan hashtag itu, baik pro atau anti, penduduk dunia maya berlogo burung itu tidak akan mengaitkannya dengan kondisi atau gerakan riil. "Ahh, paling cuma perang heshtek," begitu seloroh teman saya.
Klikaktifisme sejati ini sebetulnya kemunduran, minimal pengaburan, dalam dunia gerakan. Betapa tidak, kebosanan saya gegara dipertontonkan hampir tiap hari dengan heshtek primordial terus membuncah. Dengan akun yang itu-itu saja di popular twit dan kerangka argumen yang hampir pejal, sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa heshtag itu diorganisasi oleh kelompok kepentingan tertentu, yang jelas bukan massa rakyat kebanyakan.
Jika suatu saat ada gerakan sejati yang memanfaatkan media sosial, siap-siap akan dijatuhkan derajatnya hanya semata klikaktifisme.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI