Dalam kaedah umum, menghancurkan yang sudah ada akan lebih mudah daripada membangun atau memperbaiki yang sudah ada. Dalam perjalanan dakwah Rasulullah SAW penghancuran berhala di ka’bah adalah fase puncak perjuangan dakwah. Ketika titik klimaks kemenangan sudah diraih dalam rangka pembebasan fikiran dan faham kesesatan, maka penghancuran berhala-berhala di ka’bah pun Nabi lakukan. Kenapa fase penghancuran ini tidak dimulai dari fase dakwah di Mekkah? Apakah karena kondisi ummat Islam pada saat itu lemah? Dalam pandangan manusia mungkin mereka masih lemah, akan tetapi dalam pandangan Allah mereka selamanya adalah kaum yang kuat. Siapa yang tidak kuat, kalau pembelanya adalah Yang Maha Hidup? Yang menghidupkan yang mati, dan mematikan yang hidup. Akan tetapi kenapa Allah memilihkan jalan yang lebih panjang lagi sangat sukar bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa? Itulah perjuangan, yang harus ditempuh dengan kesabaran dan kasih sayang. Seandainya penghancuran berhala dilakukan sejak fase Mekkah, bisa jadi kota Madinah tidak akan disebut-sebut sebagai kota perjuangan, karena tidak adanya fase hijrah. Kalau seandainya mereka memilih perlawanan bersenjata ketika di Mekkah, bisa jadi Abu Ubaidah Al Jarrah tidak akan membunuh bapaknya di perang Badar, Mus’ab bin Umair tidak membunuh saudaranya, Umar Al Khattab dan Hamzah tidak membunuh kaum kerabatnya. Itulah dakwah penuh dengan kesabaran dan kearifan, serta pengorbanan. Ia jauh dari sifat tergesa-gesa, atau isti’jal. Ia memberikan toleransi yang tinggi terhadap perbedaan sebuah permasalahan yang ada di sekelilingnya. Berdakwah bukanlah untuk mencari pembenaran akan pendapat yang dimiliki oleh diri dan golongannya. Ia sangat memperhatikan permasalahan ummat dan sibuk dengan perjuangannya. Ia bersama-sama dengan ummat, bergaul dan membangun sendi-sendi keagamaan. Ia sibuk berdiri sebagai makmum dan terkadang sebagai imam. Di situ ada kegiatan keummatan, dirinya selalu hadir dan muncul, melakukan pekerjaan yang sepele sekalipun. Ia tidak sungkan untuk melakukan pekerjaan sebagai makmum, dan dengan sukarela menerima beban sebagai imam. Ia bukan orang yang tiba-tiba muncul dengan membawa fikirannya yang aneh dan melawan arus. Ia bukan berwajah kasar, karena menebar senyum. Ketika berbicara tutur katanya halus dan terhormat karena keimanan yang dimilikinya. Keimanan yang dimilikinya ia tebarkan dengan harapan senyuman dan simpulan di bibir dan di hati saudaranya akan menghiasinya. Dakwah bukanlah untuk mencari pembenaran atas sebuah permasalahan. Kalau sekedar ingin mencari pembenaran, seseorang akan memusatkan perhatiannya untuk menyalahkan pendapat yang berseberangan. Ia akan terus berjuang, sampai orang-orang yang ia lawannya ‘bersujud” dan takluk mengakui kekalahannya. Pada saat itu ia akan lebih mudah jatuh ke dalam hal-hal yang tidak bermanfaat bagi diri dan ummatnya. Karena nafsunya akan melingkupi jalan fikir dan pendapatnya. Dalam berdakwah, setiap jundi dakwah idealnya adalah seorang pembangun. Pembangun bagi diri dan ummatnya. Ia akan membangun pondasi kuat untuk apa yang ingin ia pegang, pelajari dengan mendalam, resapi dengan azas kebenaran dan manfaat, sebelum menghancurkan apa yang orang lain telah bangun. Salah satu modal dakwah yang sangat penting adalah pemahaman fiqih dan hadits. Masalah kaedah fiqih dan memandang makna sebuah hadits adalah salah satu modal utama dalam berdakwah. Saat ini informasi sudah begitu mudah dan banyak kita dapatkan di dunia internet. Kita dapat menemukan ulama-ulama yang mumpuni yang mempunyai berbagai macam pendapat. Bahkan banyak konten-konten yang menampilkan sebuah persoalan dalam pandangan beberapa imam madzab. Yang bisa jadi berbeda, sesuai dengan parameter persoalan yang mereka hadapi. Kondisi kekinian dan tempat akan mempengaruhi semua jalan fikir yang mereka miliki. Yang tidak kita temukan dalam kita mencari pendapat ulama di dunia maya adalah, bagaimana kita mengolah dan menemukan jawaban yang tepat. Memposisikan diri kita sebagai pembangun bukan penghancur. Ia bukan “melawan” akan tetapi merangkul dan melakukan perubahan dengan pelan. Ia tampil dengan arif dan hikmah sehingga kawan dan lawan pun menghormatinya. Ia paham betul, ketika seseorang ia lawan, ia akan melakukan perlawanan balik. Ia paham betul, kalau ia berlaku kasar, orang lain pun akan meresponnya dengan tidak simpati, bahkan dengan perlakukan yang lebih kasar. Yang akhirnya membuyarkan segala potensi yang ia miliki. Ia beriman, akan tetapi adalah “pengganggu” orang di sekitarnya. Orang menghindari dan menjauh darinya, karena risi dengan “kutukan” pedas di mulutnya. Yang pada akhirnya, keimanannya tidak diharapkan kebaikannya oleh orang lain. Yang pada akhirnya imannya tidak lagi bermanfaat bagi orang lain. Musibah! Sumber ilmu sudah tersedia dan mudah kita dapatkan, tinggal bagaimana kita membungkusnya dengan kearifan dan kasih sayang, dalam menyampaikan ke saudara-saudara kita. Kearifan dan kelembutan sebuah fikiran dan hati yang kita miliki adalah salah satu penentu keberhasilan dakwah kita. Kita sebagai pembangun atau penghancur adalah sebuah pilihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H