Usai seorang ulama menjalankan tugas mulianya yakni mengajarkan ilmu dalam suatu mejelis, datanglah perempuan tua yang lesuh dan tampak diwajahnya memikul beban yang berat. Setelah lama menunggu karena banyaknya pertanyaan murid-murid ulama yang belum tuntas dibahas saat mejelis ilmu barusan, maka tiba saatnya giliran perempuan tua tersebut mendapatkan kesempatan mengeluhkan masalahnya setelah murid-murid ulama tersebut pulang.
“Asalamualaikum ya tuanku.” Salam yang diucapkan perempuan tua tersebut, sontak dijawab sang ulama “Walaikum salam..” dan tanpa basa basi menanyakan prihal keperluan perempuan itu. Perempuan yang dalam batas ingatanya belum pernah ia temui apalagi mengenalnya.
“Seminggu yang lalu suamiku telah berpulang kepada-Nya.” Keluhan perempuan tua sedih. Ia melanjutkan “Aku memiliki dua orang anak dan kami tidak memiliki tempat tinggal, merekapun sudah beberapa hari tidak makan lantaran aku tidak lagi memiliki apapun untuk membeli makanan”. Perempuan tua itupun tunduk malu dan merasa telah kehilangan separuh dari harga dirinya, karena telah memohon belas kasihan terlebih kepada orang yang tidak begitu ia kenal, hanya mengenal kemasyuran nama besar ulama tersebut dengan ilmu yang ia kuasai. Dengan nada perlahan penuh harap semata-mata demi keberlangsungan hidup kedua anaknya, perempuan tersebut memintah ibah, “Maukah tuan membantuku?”
Mendengar permintaan perempuan tua tersebut, tiba giliran sang ulama berbicara, tentu harapan perempuan tua itu sang ulama dapat mengamalkan apa yang sering diajarkannya kepada murid-muridnya sebagai tanda bahwa sang ulama memiliki ketinggian akhlak, bukan hanya berucap lantang melainkan mengamalkannya dalam rutinitas kesehariannya dan hal itu adalah buah dari ilmu dan ibadahnya. Namun tak disangka menanggapi permohonan perempuan tua itu sang ulama malah bertanya balik;
“Maaf perempuan tua, aku bukan tidak mau membantumu namun benarkah yang kau katakan barusan? Mana buktinya?” jawab Ulama tersebut singkat membuat perempuan tua praktis bingung karena harus lebih dulu membuktikan perkataanya? Tertunduk malu dan tak tahu apalagi yang harus ia lakukan maka iapun pergi dengan hati yang kecewa dan merasa telah kehilangan harga dirinya yang separuhnya lagi.
Malam dihari itu juga, sang ulama bermimpi dibangkitkan dipadang masyhar, tempat dimana manusia dikumpulkan berdasarkan kelompoknya sebagaimana hadis nabi “Engkau akan dibangkitkan bersama orang yang kau cintai”. Diwaktu dimana manusia akan menerima perhitungan dan balasan atas segenap perbuatannya didunia. Mengetahui berada dipadang masyhar, sang ulama berlari kesana kemari, berusaha mengidentifikasi kelompok atau kaumnya ditengah milyaran orang yang berkumpul disana. Terdapat bendera Nabi Musa as dengan jutaan pengikut berdiri bersamanya. Saat yang bersamaan ketika pandangannya memadang ke sisi lannya terdapat sebuah gunung, ia meilihat panji Nabi Ibrahim as bersama pengikutnya. Ia bertanya pada diri sendiri “Dimanakah kaumku?”. Berlari menelusuri padang masyhar ditengah hembusan angin yang bercampur pasir dan panasnya terik matahari, seakan-akan waktu itu matahari yang tampak jauh saat didunia, kini lebih dekat, lelah belum menemukan hasil usahanya pencariannya, iapun terteguh sejenak sambil menoleh jauh kedepan, dar kejauhan ia melihat sebuah cahaya yang menyilaukan mata. Sang ulama kemudian bergegas mendekat dengan sisa semangat dan tubuh yang lemah terbakar panas matahari itu, makin dekat ia pada locus cahaya dimaksud, tampak jelas tepat terletak diatas puncak gunung yang terlihat menjulang lebih tinggi dari gunung lainnya. “Ya itu lah, kaumku. Muhamad Rasulullah” klaimnya dengan penuh semangat dan merasa senang karena telah menemukan panji-panji Rasulullah dan tidak sabar iapun berlari terus mendekati gunung tersebut.
Sesampai disana, tampak telah berkumpul jutaan orang yang telah berbaris dengan antrian yang sangat panjang, barisan tertuju pada pusat bercahaya, sosok manusia cahaya yang terang dan menerangi. Dengan begitu sang ulama praktis dengan mudah mengenal sosok itu adalah buah hatinya karena selama ini, ia merasa telah menjadikan Rasulullah sebagai suri taladannya? Tak sabar menanti, hati berdebar kencang menahan kerinduan yang begitu mendalam dan dalam hitungan detik akan terbayarkan dalam sebuah pertemuan yang telah lama dinantikan. Sampai giliran Ulama, tak sabar iapun memegang dan mencium tangan Rasulullah, diikuti dengan pelukan erat, tak tahan menahan arus deras kerinduan, tanpa sadar pecahlah tangisannya sekeras-kerasnya. “Ya Rasulullah, Aku Mencintaimu sepenuh hatiku. Berikanlah aku tempat dan syafaatmu agar aku bisa terhindar dari perpisahan dari dirimu lagi. Sungguh saat inilah yang kunanti-nanti sepanjang hidupku”. Ulama tersebut berkata terbatah-batah karena diringi dengan isak tangis. Mendengar permohonan itu, Rasulullah kemudian berkata atau lebih tepatnya bertanya. “Ya Abdullah (Hamba Allah), benarkah perkataanmu itu? Mana buktinya?”. Terperangah mendengar jawaban Rasulullah, Iapun terbangun dari tidurnya dan merasa telah bersalah lantaran telah mengabaikan perempuan tua itu. Siapakah gerangan perempuan tua itu? Sehinggah Rasulullah langung menegurnya lewat mimpi. Dan meskipun ia bukan siapa-siapa tentu perbuatannya yang tanpa memberikan kesempatan pada orang tua itu dan memberikan kesan bahwa ia enggan membantu meringankan beban orang tua itu padahal ia mampu, adalah satu perbuatan dosa dalam agama.
Kita gunting cerita ini sampai disini..
Sepenggal cerita diatas, memiliki hikmah yang sangat mendalam dan sekaligus teguran buat kita semua. Karena betapa sering kita berbuat kebaikan namun lebih dulu membutuhkan alasan yang melulu pribadi untuk perbuatan itu dan dikarenakan itu pula, kita sering mencurigai kebaikan seseorang memiliki tujuan pribadi bahkan buruk lantaran mungkin karena kita melihat diri kita yang kemudian kita nisbatkan pada orang lain. Sering pula ibadah kita hanya mengikuti selera yang diinginkan. Manakala itu tidak sesuai dengan hasrat dan selera kita, dengan mudahnya kita abaikan untuk tidak melakukannya. Perbuatan baik berdasarkan selerah itu persis seperti perbuatan baik (ibadah) yang dilakukan Iblis, ia beribadah bukan karena perintah Allah apalagi cinta, melainkan sesuai dengan selera, hasrat dan keinginannya, hal itu dapat kita lihat dengan penolakannya yang tegas ketika Allah memerintahkan iblis untuk bersujud dihadapan Nabi Adam as (al-Hijr:36) padahal beberapa riwayat mengabarkan ia adalah mahluk Allah yang selama ini patuh dalam beribadah selama lebih dari 700 ribu tahun. Jadi ciri-ciri ibadah iblis itu bukan berdasarkan kepatuhan apalagi cinta namun berdasarkan selera dan hasrat. Bagaimana dengan ibadah kita? Sering kita baru rajin dan nampak sangat khusyu dalam sholat lantaran kita sedang bersedih hati atas suatu masalah, kita giat berpuasa lantaran semata-mata berharap pahala atau sekaligus diet atau tak mau kalah dengan dengan orang lain atau supaya mendapatkan THR. Dalam hal bersedekah kita berharap ingin dimudahkan rezki dan bahkan ingin dikatakan darmawan. Begitu pula berhaji hanya untuk mendapatkan status sosial yang lebih. Semua alasan tersebut mesti menguntungkan kita, jika tidak kita enggan melakukanya. Andai saja Allah berpikir seperti kita – seperti pedagang – dalam menilai perbuatan kita, tentu kita pasti merugi karena tak seberapanya amal kita dibandingkan usia dan nikmat lain yang diberikan-Nya. Kemudian betapa kita sering tidak merasa “malu” mengucapkan syahadat atas nama Allah dan Muhamad SAW namun kita sering lupa, meremehkan dan bahkan dengan sengaja melanggar taladannya (melakukanya hanya bila jika menguntungkan kita). Saya teringat cerita yang disampaikan Kang Jalal dalam bukunya Rindu Rasul. Kang jala bercerita, tak tahan menahan haru karena menyaksikan begitu besarnya cinta seorang pria tua dari suatu desa yang hanya lulusan SD bernama Mas Darwan kepada Rasulullah. Ketika pria tua itu sedang sekarat, ia berbisik diselah nafas terakhirnya kepada sang istri, bukan soal warisan dan urusan anak cucunya namun ia berpesan “Bulan ini bulan Maulid. Jangan lupa selamatan buat Kanjeng Nabi SAW”. Meskipun Mas Darwan terbilang sangat sederhana pengetahuaannya dalam agama namun cerdas dalam menjalankannya, lantas kita? mengaku mencintai Rasulullah namun ketika mendengar namanya kita urung bershalawat padannya, padahal Allah dan Para Malaikat saja bershalawat kepada Rasulullah, atau meskipun bershalawat kita selalu berhati-hati dalam melakukannya karena takut terjerumus pada perbuatan bid’ah sebab terlalu berlebihan, namun adakah yang berlebihan dalam Cinta? Perlu pembahasan berbab-bab dalam menjawab pertanyaan tersebut dan intinya tidak ada kamus berlebihan dalam cinta namun disinilah kecerdasan Mas Darwan tersebut, meskipun ia tidak memiliki pengetahuan agama yang banyak, ia bahkan tidak mengerti apakah perkara Maulid itu bid’ah atau sunnah namun ia memiliki ketulusan melebihi mungkin kita yang mengetahui banyak hal dalam agama.
Coba bayangkan kisah diatas, andaikata kitalah pemeran tokoh ulama itu dan Rasulullah menanyakan bukti Cinta kita? Apakah kita dapat menjawab pertanyaan tersebut? Sementara kita lalai menjadikannya taladan tanpa syarat, silahturahmi sebagai perangai terpujinya sering tercerai berai dan bahkan hanya untuk kepentingan, kepuasan, selera dan alasan tertentu barulah kita kerjakan. Kita juga sering secara sengaja menyakiti sesama Muslim padahal Rasulullah SAW bersabda “Barang siapa yang menyakiti orang-orang muslim berarti telah menyakiti hatiku, dan barang siapa yang menyakiti hatiku berarti telah menyakiti Allah. Orang seperti itu telah dikutuk di dalam Taurat, Injil, dan al-Quran” bahkan Allah berfirman “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (QS al-Ahzab: 58). Ketahuilah kedekatan manusia kepada Sang Khalik bukan terlihat semata-mata dari bagaimana ia menjalin hubungan vertikal dan personal dengan Allah – sebagaimana yang dilakukan Iblis selama 700 ribu tahun – melainkan terpatri dalam akhlak atau budi pekerti kepada sesama manusia dan semesta dalam kerangka ibadah sosial. Dalam hal ini Nabi Musa as pernah ditegur Allah SWT dalam sebuah hadis qudsi.’
“Hai Musa begitu banyak ibadahmu hari ini, manakah yang untuku?” Tanya Allah meghampiri Musa yang sedang sibuk beribadah. Musa lantas menjawab dengan nada heran “Ya Tuhanku, tidaklah ibadah yang ku lakukan ini semata-mata untuk-MU” jawab Musa as. Allah menegaskan atas jawaban Musa as “Tidak Musa, ibadah itu (akan kembali)untukmu bukan untuku” Jawab Allah membuat Musa menyesal dan menagisi dirinya. “Ya Tuhanku ajarkanlah aku ibadah yang semata-mata untuk-MU?” pinta Musa as sambil tertegun dan menangis, merasa ia telah salah dan melakukan kesia-siaan.