Peristiwa razia warung makan dibulan ramadan yang dikuti dengan penyitaan barang dagangan seorang pedagang warteg ibu Saeni (53) atau kerap disapa bu Eni oleh Satpol PP Kota Serang Provinsi Banten menjadi viral atau pesan berantai di sosial media (sosmed). Seperti biasa publik reaktif, seakan ikut-ikutan dan "liar" menanggapi kejadian tersebut.
Meski tidak memiliki informasi yang utuh. Bahkan sejumlah netizen menghimpun dana di masyarakat untuk bu Eni, tentu hal ini sekaligus dimaksudkan bentuk perlawanan dan protes akan tindakan razia tersebut. Berbagai kencaman bermunculan seputar pristiwa dimaksud. Kebanyakan komentar di sosmed seputar keprihatinan dan bahkan serta memojokan pihak-pihak tertentu. Bermunculan pula opini delegitimasi atau pelemahan soal himbauan yang biasa kita temukan saat puasa selama ini, supaya menghormati orang yang sedang berpuasa.
Himbaun ini bukan terbilang baru, mulai dari zaman Orba sudah ada, namun baru sekarang diributkan. Menurut kami beberapa hal yang mesti dicatat. Pertama, soal menghormati orang yang berpuasa merupakan suatu kewajaran dan bahkan bentuk kearifan sesama umat beragama. Ini bentuk praktik toleransi umat beragama.
Bukan soal umat Islam yang puasa ditakutkan akan tergoda dengan banyaknya serba serbi makanan yang dijual disiang hari. Bukan pula umat yang menjalankan puasa menginginkan penghormatan dan penghargaan yang bersifat pribadi atas ibadah yang ia jalani. Tetapi lebih pada edukasi (pendidikan), membiasakan hidup rukun dan saling menghormati antara pemeluk agama satu dengan yang lain, saling menghargai yang sedang menjalankan puasa dengan mereka yang tidak menjalankan puasa, bisa karena alasan seseorang itu non muslim atau bisa pula karena umat Islam yang berhalangan atau belum diwajibkan berpuasa secara syar'i.
Tradisi dan budaya toleran seperti diatas bisa pula kita lihat semisal di Bali. Saat Perayaan Hari Raya Nyepi, Umat Hindu disana yang kita ketahui adalah merupakan peduduk mayoritas melakukan ritual Catur Brata Penyepian, Pemerintah daerahnya mewajibkan semua masyarakat Bali, bukan hanya Umat Hindu, harus menghentikan hampir semua aktivitas sosial, ekonomi dan pelayanan publik. Baik didalam maupun diluar rumah.
Jika warga kedapatan melanggar kewajiban dimaksud maka akan ditindak oleh aparat setempat yang disebut pecalang dan akan diberikan sanksi sesuai peraturan adat yang berlaku. Dan umat Islam, umat lainnya disana, secara umum juga tidak merasa keberatan selama 24 jam tinggal dirumah meski bukan dalam arti dan tidak sepenuhnya melakukan ritual penyepian. Melainkan bertujuan bisa saling menghormati, memahami.
Karena hal tersebut bentuk toleransi dan keharmonisan umat beragama. Begitu pula di di Kabupaten Tolikara Papua, saat hari minggu masyarakat dilarang berjualan, larangan itu berlaku bagi semua umat. Secara umum mereka menjalankannya tanpa harus diributkan. Kecuali terhadap larangan menggunakan jilbab ditempat publik, mendapatkan protes karena dinilai diskriminatif, lantaran jilbab dalam pandangan Islam wajib hukumnya, melarangnya justru menciderahi toleransi itu sendiri.
Dan dalam diskusi kami dengan saudara non muslim mereka memaklumi kewajiban itu. Hematnya saling menghormati satu dengan yang lain itu adalah indah dan modal bagi suatu bangsa yang menjemuk seperti Indonesia. Bangsa kita bisa bersatu karena tradisi toleran yang sangat tinggi, setiap umat beragama bebas beribadah berdasarkan keyakinannya masing-masing dan kebebasan itu merupakan hak konstitusi setiap warga negara. Maka dari itu, menurut kami persatuan kita didirikan atas sikap toleran tanpa kita harus menjadi sekuler mengekor kecenderungan publik barat dalam menjaga persatuannya.
Meskipun dalam banyak hal, barat bisa dikatakan gagal menjaga toleransi itu sendiri meskipun penduduk mereka jauh tidak semajemuk kita. Kedua, berangkat dari ulasan yang pertama maka sebenarnya tidak menjadi masalah kalau kemudian diperlukan pengaturan semisal warung makanan yang berjualan dibulan puasa.
Penekanan yang perlu kita perhatikan dalam hal ini adalah pengaturan dimaksud bertujuan "mengatur" bukan sepenuhnya "larangan". Artinya waktu atau jam bukanya yang diatur. Terlebih bagi suatu daerah yang memang mayoritas atau hampir semua struktur dan kultur masyarakatnya beragama Islam maka pelambagaan aturan dalam bentuk peraturan semisal perda disini adalah bentuk kearifan lokal, aspirasi dan suatu kewajaran selama tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau menghalang-halangi asasi umat beragama lain untuk beribadah. Dan bisa jadi Perda tersebut justru untuk memelihara kemajemukan itu sendiri.
Disisi lain bisa pula Perda demikian agar publik tidak terpancing melakukan tindakan yang melawan hukum seperti main hakim sendiri. Sehingga pelembagaan aturan ini sangat penting sebagai bagian dari edukasi khususnya bagi umat islam sendiri, terlebih bagi mereka yang sebenarnya memenuhi syarat untuk puasa namun tidak juga mau berpuasa, agar mereka tidak seenaknya. Jadi aturan disini dipahami sebagai edukasi dan mencari titik temu secara moderat, mengatur agar sesama kita bisa saling menghormati.